Salah satu isu yang sering dikeluhkan terhadap tenaga kerja Indonesia adalah tingkat produktivitasnya yang rendah. Dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, produktivitas pekerja Indonesia berada di peringkat kelima.
Berdasarkan data Organisasi Buruh Internasional (ILO), setiap satu jam kerja, satu orang pekerja di Indonesia men yumbang US$12,96 atau sekitar Rp194 ribu terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2021. Nilai itu menunjukkan output yang dihasilkan setiap tenaga kerja dalam periode waktu tertentu.
Produktivitas pekerja tanah air masih berada di bawah Singapura (US$74,15 per orang/ jam), Brunei Darussalam (US$55,92 per orang/ jam), Malaysia (US$25,59 per orang/ jam), dan Thailand (US$15,06 per orang/ jam).
Namun, tenaga kerja Indonesia masih lebih produktif dibandingkan Vietnam dan Filipina. Keduanya memiliki angka produktivitas di kisaran US$10 per orang/ jam.
Meski begitu, data ILO ini hanya menghitung produktivitas tenaga kerja secara keseluruhan, yakni total PDB dibagi total tenaga kerja. Padahal, beberapa sektor usaha di Indonesia memiliki tingkat produktivitas lebih tinggi ketimbang rata-rata agregatnya, bahkan lebih baik dibandingkan negara lain.
Misalnya, tenaga kerja sektor real estate tercatat paling produktif di Indonesia pada 2020. Angkanya mencapai US$36,9 atau sekitar Rp554 ribu per orang/ jam.
Sementara, berdasarkan data Departemen Statistik Malaysia, setiap pekerja di sektor jasa keuangan dan asuransi, real estate, dan jasa perusahaan hanya menghasilkan US$11 per jam.
Tenaga kerja di sektor informasi dan komunikasi di dalam negeri juga punya produktivitas lebih tinggi. Perbandingannya, Indonesia US$23,9 per orang/ jam, sedangkan Malaysia US$16,7 per orang/jam.
Namun, Malaysia unggul di sektor pertambangan dan penggalian yang bisa menghasilkan US$129,7 per orang/ jam pada 2020. Sementara di Indonesia hanya sebesar US$23,5 per orang/ jam pada 2020, yang kemudian meningkat menjadi US$50,1 per orang/ jam pada 2022.
Pola serupa juga terjadi di Singapura. di industri pengolahan mencapai US$216,9 per orang/jam. Namun, angka produktivitas di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan serta pertambangan dan penggalian cuma sebesar US$6,1 per orang/ jam.
Pola tingkat produktivitas ini serupa dengan di tanah air. Di mana tenaga kerja pertanian, kehutanan, dan perikanan termasuk sektor yang menyumbang produktivitas yang rendah.
Jadi produktivitas semestinya tidak disamaratakan berdasarkan angka agregat. Angka produktivitas di beberapa sektor usaha bisa melampaui dan mengangkat rata-rata nasional, sehingga menutupi produktivitas tenaga kerja di sejumlah sektor lain yang sebetulnya rendah.
Produktivitas Tenaga Kerja Informal Masih Rendah
Produktivitas tenaga kerja di beberapa sektor informal masih jadi momok bagi Indonesia. Misalnya, seorang pekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan hanya menghasilkan US$1,8 atau Rp27 ribu per jam pada 2020. Angkanya relatif stagnan pada dua tahun berikutnya.
Menurut ekonom Bank Pembangunan Asia (ADB) Emma Allen, rendahnya produktivitas tenaga kerja Indonesia di sejumlah sektor salah satunya disebabkan upah sebenarnya (real wages) yang diterima tiap pekerja belum sejalan dengan tingkat produktivitasnya.
Meski begitu, Allen mengatakan meski upah minimum meningkat lebih cepat, ketidakpatuhan pemberi kerja terhadap undang-undang juga tinggi. Akibatnya, “satu dari dua pekerja di Indonesia berpenghasilan di bawah ambang batas yang sah” pada 2016.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), upah nominal harian buruh tani tercatat sebesar Rp58.536 pada Agustus 2022. Angka itu meningkat 2,9% dari periode yang sama pada tahun sebelumnya. Jika dibandingkan dengan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian, kenaikan upah itu sebetulnya sudah lebih baik dari pertumbuhan produktivitas.
Namun, belum sebanding dengan peningkatan upah minimum, lantaran pertanian termasuk di sektor informal. Adapun, rata-rata upah minimum secara nasional tercatat sebesar Rp2.929.225 per bulan pada 2023, meningkat 7,3% secara tahunan.
Sementara, menurut Tadjoeddin dalam artikel “Earnings, productivity and inequality in Indonesia” di jurnal The Economic and Labour Relations Review (2016), upah yang rendah atau tidak sejalan dengan produktivitas kemungkinan disebabkan para pekerja kurang terdidik dan tidak terampil.
BPS mencatat mayoritas tenaga kerja sektor pertanian memang cuma menempuh pendidikan dasar per Agustus 2022. Rinciannya, sebanyak 23,7% pekerja tidak atau belum tamat SD dan sebanyak 38,7% pekerja lulus SD. Adapun, sektor pertanian menyerap tenaga kerja terbanyak di Indonesia, yakni 38,7 juta orang, atau 28,6% dari total tenaga kerja nasional.
Jika dibandingkan dengan sektor real estate, yang memiliki tenaga kerja paling produktif di Indonesia, para pekerjanya menempuh pendidikan lebih tinggi. Sebanyak 29,2% tenaga kerja lulus SMA, lalu yang tamat hingga bangku universitas pun mencapai 17,9% dari total tenaga kerja di sektor ini.
Hal serupa juga terlihat di sektor formal lain, seperti sektor informasi dan komunikasi. Sebanyak 31,4% pekerja di sektor ini lulusan perguruan tinggi, menjadi yang tertinggi dibandingkan tingkat pendidikan lainnya.
Karena itu, sejalan dengan argumen Allen dan Tadjoeddin, upah yang diterima pekerja di sektor formal dengan pendidikan tinggi pun lebih besar dari upah buruh tani dan upah minimum. Nilainya rata-rata mencapai Rp3.070.756 per bulan pada Agustus 2022, naik 12,2% secara tahunan. Kemudian, tingkat produktivitas tenaga kerja di dua sektor tersebut tercatat selalu melebihi angka agregat nasional.
Editor: Aria W. Yudhistira