Gubernur Bali I Wayan Koster mengusulkan pencabutan fasilitas visa on arrival (VoA) khusus pariwisata bagi wisatawan asal Ukraina dan Rusia. Kedatangan turis asal kedua negara, menurut Koster, bukan bertujuan untuk berlibur, melainkan menghindari konflik yang terjadi di kedua negara.
Turis dari dua negara tersebut juga dituding kerap melanggar hukum. Jumlahnya diklaim lebih banyak dibandingkan turis asal negara lain. Misalnya, melakukan vandalisme di fasilitas publik, berfoto telanjang di pohon suci, dan bekerja secara ilegal.
Fasilitas VoA atau visa kunjungan saat kedatangan khusus wisata di Bali mulai berlaku sejak 7 Maret 2022. Pada awalnya fasilitas hanya diberikan kepada 23 negara. Namun, hampir tiap bulan setelahnya, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM mengeluarkan surat edaran yang memperluas cakupan fasilitas itu.
Para turis dari Ukraina dan Rusia sendiri dapat menikmati fasilitas VoA tersebut sejak 28 April 2022, ketika cakupannya mencapai 72 negara. Terakhir, pada 18 Januari 2023, fasilitas ini kembali diperluas hingga mencakup 87 negara.
Wisatawan asing yang menggunakan VoA khusus wisata harus membayar Rp500 ribu saat tiba di Bali untuk kunjungan selama 30 hari. Masa kunjungan bisa diperpanjang satu kali untuk 30 hari berikutnya dengan biaya yang sama.
Sementara, wisatawan asal ASEAN bisa menggunakan bebas visa kunjungan, tanpa adanya pungutan biaya. Masa kunjungan juga berlaku selama 30 hari, tetapi tidak bisa diperpanjang.
Fasilitas visa on arrival bertujuan meningkatkan kunjungan turis asing ke Bali. Kebijakan ini diambil setelah pandemi Covid-19, dan terbukti ampuh. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kunjungan turis asing ke Pulau Dewata mengalami peningkatan signifikan setelah penerapan VoA.
Jumlah kunjungan wisatawan asing ke Bali tercatat sebanyak 14,6 ribu kunjungan pada Maret 2022. Lalu, angkanya terus naik menjadi 305,2 ribu kunjungan pada Oktober 2022 dan mencapai angka tertinggi 377,3 ribu kunjungan pada Desember 2022.
Angka kunjungan turis asing pada Januari-Februari 2023 pun naik hampir 500 kali lipat, menjadi 655,5 ribu kunjungan, dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Selain itu, komposisi negara asal turis asing yang mengunjungi Bali turut berubah. Sebelum pandemi, turis dari Australia dan Tiongkok mendominasi lawatan ke Bali. Namun, jumlah kunjungan wisatawan Tiongkok kini masih belum kembali ke level semula.
Persentase kunjungan turis asal Rusia yang justru merangkak naik ke daftar 10 besar. Angkanya sebesar 2,7% sepanjang 2022, kemudian menjadi 6% sepanjang Januari-Februari 2023.
Meski begitu, kenaikan jumlah kunjungan wisatawan asing dari penerapan VoA khusus wisata di Bali tidak diikuti dengan peningkatan pada kualitasnya. Misalnya, rata-rata lama menginap tamu asing di hotel berbintang dan nonbintang di Bali relatif stagnan selama 2-3 hari dalam lima tahun terakhir.
Kualitas kunjungan turis mancanegara juga dapat diukur dari besaran pengeluaran mereka selama ada di destinasi wisata. Namun, belum ada data terbaru terkait hal tersebut, terlebih setelah pandemi dan penerapan VoA di Pulau Dewata.
Sebagai gambaran, Mastercard mencatat rata-rata pengeluaran turis asing di Bali sebesar US$125 atau sekitar Rp1,8 juta per hari pada 2018. Nilai itu masih di bawah sejumlah kota destinasi wisata di negara tetangga, seperti Kuala Lumpur (US$142), Bangkok (US$184), dan Singapura (US$272).
Tidak hanya itu, seperti pernyataan Koster, beberapa wisatawan asing kerap melakukan pelanggaran hukum, yang lantas mengganggu masyarakat setempat. Melansir detikNews, sebanyak 49 turis asing dideportasi dari Bali pada Januari-Maret 2023, karena tinggal lebih lama dari batas waktu (overstay).
Polda Bali juga memproses 171 kasus pelanggaran lalu lintas yang dilakukan turis asing dalam sepekan per 12 Maret 2023. Kemudian, ada 19 orang asing lain yang ditangani secara pidana oleh kepolisian setempat, baik pidana umum maupun terkait narkotika.
Dampak Buruk Pariwisata bagi Warga Lokal
Bali telah sejak lama menjadi primadona pariwisata Indonesia. Antropolog Leo Howe dalam bukunya The Changing World of Bali: Religion, Society and Tourism (2005) mengatakan citra Bali sebagai “surga eksotis” (exotic paradise) diciptakan sejak masa penjajahan Belanda.
Citra tersebut, didukung promosi dalam bentuk foto dan lukisan, mengundang banyak seniman negara barat untuk berkunjung dan tinggal di Bali sejak 1914. Mereka lantas melanjutkan pembentukan citra itu, dengan merekam kehidupan sosial, kesenian, dan keagamaan warga Bali melalui karya seni.
“Para seniman ini menjalani kehidupan bohemian yang mewah (di Bali), di tengah kemiskinan parah yang dirasakan sebagian besar orang Bali biasa,” tulis Howe.
Kondisi yang kontras dalam pernyataan Howe itu tampaknya masih relevan dengan pariwisata Bali hari ini. Pasalnya, pemerintah yang terus berorientasi pada kuantitas kunjungan turis asing menyebabkan pariwisata massal atau mass tourism.
Pariwisata massal tentu mendatangkan keuntungan ekonomi. Semakin banyak wisatawan datang, kian banyak pula uang yang diterima Indonesia, setidaknya dari tarif akomodasi turis. Namun, mengutip Howe, ada biaya sosio-kultural yang juga harus dibayarkan di balik keuntungan tersebut.
Hasil penelitian Ka Leong Chong (2020) dalam artikel “The side effects of mass tourism: the voices of Bali islanders” di jurnal Asia Pacific Journal of Tourism Research menunjukkan masyarakat lokal merasa terganggu dengan tingkah laku turis asing yang tidak sopan. Misalnya, buang air kecil di dekat pura.
Para responden juga khawatir dengan memudarnya tradisi dan praktik budaya lokal di Bali, terutama di desa-desa sekitar tempat wisata. Menurut Ka Leong Chong, hal ini disebabkan gaya hidup turis asing sudah diterima oleh masyarakat setempat hingga menjadi praktik yang lebih umum.
Sementara, Howe berpendapat perubahan budaya di Bali bisa terjadi karena menyesuaikan kebutuhan dan harapan wisatawan yang datang ketimbang warga lokal, untuk mendukung pariwisata itu sendiri.
Pariwisata massal pun memperparah kemacetan dan polusi di Bali. Para responden mengatakan, upaya pemerintah provinsi menambah infrastruktur jalan dan manajemen sampah belum sebanding dengan kenaikan jumlah turis asing yang datang ke Pulau Dewata.
Dengan segala dampak buruk itu, bahkan setelah ada jeda selama pandemi, pemerintah tetap kukuh dengan pendekatan pariwisatanya. Cakupan visa on arrival yang diperluas setiap bulan membuktikan pemerintah hanya mementingkan kunjungan turis asing dan keuntungan ekonomi.
Evaluasi yang komprehensif mengenai dampak kebijakan itu bagi warga lokal di Bali diabaikan. Usulan pencabutan fasilitas VoA pun muncul setelah tingkah laku buruk wisatawan asing viral di media sosial.
Jadi, apakah visa on arrival dan kuantitas kunjungan turis asing adalah jawaban untuk kebangkitan dan keberlanjutan pariwisata di Bali? Atau haruskah fasilitas itu dicabut?
“Jika budaya Bali yang tertata dengan baik ingin dipertahankan sebagai daya tarik utama pulau itu bagi wisatawan, maka para wisatawan itulah yang menjadi ancaman terbesarnya,” tulis Howe.
Editor: Aria W. Yudhistira