Advertisement
Advertisement
Analisis | Jokowi 'Cawe-cawe' di Pilpres 2024, Bagaimana Rapor Demokrasi sejak Reformasi? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Jokowi 'Cawe-cawe' di Pilpres 2024, Bagaimana Rapor Demokrasi sejak Reformasi?

Foto: Joshua Siringo ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Pernyataan Jokowi bakal "cawe-cawe" dalam Pilpres 2024 menuai polemik. Hal itu menerbitkan kekhawatiran atas proses pemilu yang jujur dan adil, hingga ancaman terus menurunnya kualitas demokrasi pasca-25 tahun reformasi. Sejumlah indikator kebebasan sipil dan hak-hak berpolitik mengalami stagnasi. Salah satunya masih marak pelanggaran kebebasan sipil yang dilakukan aparat untuk merespons kritik publik.
Vika Azkiya Dihni
9 Juni 2023, 09.55
Button AI Summarize

Keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ikut "cawe-cawe" dalam kontestasi pemilihan presiden (Pilpres 2024) menerbitkan kekhawatiran terhadap proses pemilu yang jujur dan adil serta kualitas demokrasi di tanah air.

Jokowi menyatakan tidak akan bersikap netral karena untuk kepentingan negara, bukan kepentingan pribadi atau golongan. “Saya harus cawe-cawe,” kata Presiden saat bertemu dengan para pemimpin media massa di Istana Merdeka, Senin, 29 Mei 2023. “Tolong dipahami, ini demi kepentingan nasional. Memilih pemimpin pada 2024 sangat krusial, penting sekali. Harus tepat dan benar!”

Beberapa waktu sebelumnya, Jokowi juga memanggil para ketua umum partai politik yang tergabung dalam koalisi pemerintahannya ke Istana. Para ketua partai yang dipanggil tersebut mengecualikan Partai Nasdem yang telah mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon presiden, 

Menurut dosen komunikasi politik Universitas Gadjah Mada Nyarwi Ahmad, sebagai kepala negara Jokowi sebenarnya memiliki sumber daya memadai yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia. “Kita tahu, komitmen ini, selama beberapa tahun terakhir, diragukan banyak kalangan,” ujarnya kepada Katadata.co.id, Rabu, 31 Mei 2023.

Jika mampu mengawal penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil, menurut Nyarwi, Presiden dapat menyelamatkan Indonesia dari arus regresi demokrasi yang marak di sejumlah negara beberapa tahun terakhir. “Jika hal ini mampu diwujudkan, tentu akan menjadi legacy luar biasa dari Presiden Jokowi,” kata dia.

Menurut Nyarwi, pernyataan cawe-cawe tersebut berpotensi memunculkan multitafsir karena terkait dengan posisi, preferensi, dan subyektivitas Jokowi sebagai presiden. Apalagi yang dibicarakan adalah soal transisi kepemimpinan nasional sehingga dapat memicu spekulasi. 

Kendati ada klarifikasi, Nyarwi menilai pernyataan Jokowi tetap dapat memberikan pengaruh luas. Bukan saja terhadap para pimpinan partai politik dan tokoh-tokoh potensial kandidat capres dan cawapres. Namun dapat juga menggerakkan barisan relawan pendukung setia Jokowi. 

“Tidak hanya itu, pengaruh tersebut baik langsung ataupun tidak langsung, bahkan bisa berkembang ke lingkungan birokrasi, hingga TNI/Polri,” kata Nyarwi yang juga Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies (IPS)

“Skala pengaruh ini saya kira yang harus dikelola dengan arif oleh Presiden Jokowi dan para tokoh yang ada dalam lingkaran terdekatnya saat ini.”

Kondisi Demokrasi Indonesia

Selama beberapa tahun terakhir, jika dilihat dari formalitas penyelenggaraan pemilu dan fungsi pemerintahan, kualitas demokrasi di tanah air memang mengalami perbaikan. Akan tetapi sejumlah indikator lain cenderung stagnan. Bahkan pada indikator kebebasan sipil dan budaya politik justru mengalami kemunduran. 

Hal ini terlihat dari skor Indeks Demokrasi 2022 yang dirilis The Economist Intelligence Unit (EIU). Dalam indeks tersebut, Indonesia memperoleh skor 6,71 dari skala 0-10. Peringkat Indonesia pun turun dari 52 ke 54 dari 167 negara.

Skor ini tidak berubah dari indeks 2021, tetapi turun jika dibandingkan pada 2014 ketika peralihan kursi kepresidenan dari Susilo Bambang Yudhoyono ke Joko Widodo.

EIU mencatat, penurunan indeks demokrasi terjadi pada indikator kebebasan sipil. Pada 2010, tercatat skor sebesar 7,06 menjadi 6,18 pada 2022. Pada tahun pertama masa kepresidenan Jokowi, panggilan Joko Widodo, harapan akan kebebasan sipil sempat melonjak. Hal ini terlihat dari indikator kebebasan sipil yang menyentuh skor tertinggi sebesar 9,12.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira