Advertisement
Advertisement
Analisis | Aneka Masalah Sulitnya Sediakan Air Minum yang Aman Dikonsumsi Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Aneka Masalah Sulitnya Sediakan Air Minum yang Aman Dikonsumsi

Foto: Joshua Siringo ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Air minum berperan penting dalam kehidupan manusia. Namun belum semua penduduk dapat menikmatinya akibat keterbatasan akses. Di sisi lain, kualitas air minum yang tersedia cenderung rendah. Hal ini menyebabkan masyarakat masih harus memenuhinya dari beragam sumber. Salah satunya membeli air minum dalam kemasan.
Andrea Lidwina
15 Juni 2023, 07.38
Button AI Summarize

Sebagai gambaran, Cox dkk. (2019) menganalisis 26 studi dari berbagai negara untuk menghitung rata-rata jumlah mikroplastik dalam makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia. Hasilnya mereka tuliskan dalam “Human Consumption of Microplastics” di jurnal Environmental Science & Technology.

Sebanyak 94,37 partikel per liter mikroplastik ditemukan dalam air minum kemasan botol. Jumlah itu menjadi yang terbanyak di antara makanan dan minuman lainnya. Misalnya, air keran memiliki 4,24 partikel mikroplastik per liter.

Penggunaan AMDK sebagai sumber air minum di rumah tangga juga bisa menimbulkan masalah sosial. Ikhsan dkk. berpendapat konsumsi AMDK berhubungan secara signifikan dengan tingkat pendidikan orang tua, usia kepala keluarga, indeks kekayaan, dan jenis tempat tinggal.

Karena itu, “kaum muda di area urban akan mendominasi konsumsi AMDK di Indonesia.” Jika AMDK setidaknya lebih tidak berbahaya ketimbang sumber air minum lain, maka hal ini lantas memunculkan ketimpangan yang kian dalam antara warga kota dan desa.

Akhirnya, akses terhadap air minum yang “aman” ini berpotensi diperuntukkan masyarakat perkotaan saja—yang ingin dan mampu membelinya. Sedangkan, warga di daerah rural harus berpuas diri dengan air minum yang tersedia.

Mengapa Pemerintah Sulit Menyediakan Air Minum Aman?

Kementerian Kesehatan mengatakan kualitas air minum buruk atau tidak aman dapat menyebabkan penyakit infeksi, bahkan stunting pada anak-anak. Lantas, mengapa pemerintah sulit mewujudkan air minum aman bagi warganya?

Nastiti dkk. (2023) dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam artikel “Desentralisasi Air Minum Aman” di Media Indonesia mengatakan “kemauan politik yang kuat sangat diperlukan dari pemerintah” untuk menyediakan air minum aman bagi masyarakat.

Sejalan dengan itu, Sultana (2018) dalam “Water justice: why it matters and how to achieve it” di jurnal Water International pun berpendapat penyediaan air minum aman berkaitan dengan isu-isu yang lebih luas, seperti demokrasi, kewarganegaraan, dan pembangunan.

“Masalah air tidak dapat diselesaikan secara teknis saja. Namun, membutuhkan pengakuan lebih luas bahwa masalah air juga berkaitan dengan masalah lingkungan, politik, dan sosial,” tulis Sultana.

Contohnya, privatisasi pengelolaan air di Jakarta. Praktik ini sudah berlangsung selama 25 tahun antara pemerintah provinsi DKI Jakarta dan Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya dengan pihak swasta Aetra dan Palyja, seperti dilansir dari situs Indonesia Corruption Watch (ICW).

Alih-alih melakukan evaluasi menyeluruh setelah seperempat abad, pemerintah provinsi dan PAM Jaya malah memperpanjang masa privatisasi air di Jakarta. Mereka telah menandatangani kontrak dengan Moya Indonesia pada akhir 2022 lalu.

Padahal, privatisasi pengelolaan air terbukti tidak lebih baik, bahkan merugikan masyarakat. Dari segi kuantitas, cakupan layanan PAM Jaya melalui jaringan perpipaan baru mencapai 65% wilayah Jakarta. Cakupan ini pun cenderung mendiskriminasi rumah tangga miskin.

Dari segi kualitas, wilayah yang termasuk dalam jaringan perpipaan itu juga tidak memperoleh kualitas air yang memuaskan. Misalnya, air tidak bisa diminum langsung, sehingga perlu diolah lebih dulu atau menambah dari sumber lain, seperti AMDK.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pernah meneliti kandungan detergen dalam air setelah praktik privatisasi di Jakarta pada 1998, seperti dilansir dari Tirto. Hasilnya, air mengandung 1,12 mg/l detergen pada tahun tersebut. Angka itu jauh dari standar yang ditetapkan sebesar 0,05 mg/l. 

Sementara, sebelum adanya privatisasi air, kandungan detergen justru tercatat di bawah standar, yakni 0,031 mg/l pada 1993 dan 0,016 mg/l pada 1994.

Menurut Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ), privatisasi pengelolaan air pun melanggar hak asasi manusia. Pasalnya, warga negara memiliki hak atas air dan air pun merupakan sumber kehidupan. Sehingga, kebutuhan akan air dari hulu ke hilir harusnya dipenuhi oleh negara.

“Swasta tidak mungkin mengupayakan pemenuhan hak atas air masyarakat secara maksimal karena tujuan usahanya adalah keuntungan,” tulis koalisi tersebut.

Tanpa adanya kemauan politik dari negara dan pemerintah untuk menyediakan air minum aman bagi masyarakat, masalah air akan terus berputar dalam siklus yang sama.

Kualitas air minum di Indonesia buruk, sehingga pemerintah bekerja sama dengan pihak swasta untuk meningkatkan infrastruktur dan layanan air minum. Namun, pihak swasta pun tidak dapat memenuhi kebutuhan air minum aman bagi semua lapisan masyarakat.

Akibatnya, rumah tangga dengan kemampuan ekonomi menengah ke atas yang dialiri jaringan pipa air tetap harus menambah sumber air minum lain. Salah satunya, AMDK, yang sebetulnya tak selalu lebih aman dan punya dampak buruk dalam jangka panjang.

Sedangkan, rumah tangga miskin tidak memiliki kemewahan tersebut. Mereka tidak bisa mengakses sambungan air dari jaringan pipa itu, sehingga harus mencari mekanisme alternatif yang mungkin lebih mahal dan belum tentu aman pula.

Akhirnya, “air diminum rasa duri” tidak hanya muncul dalam peribahasa, tetapi juga kenyataan bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira