Advertisement
Analisis | Orang Tua Perokok Lebih Berisiko Sebabkan Anak Stunting - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Orang Tua Perokok Lebih Berisiko Sebabkan Anak Stunting

Foto: Joshua Siringo ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Presiden Jokowi geram sebagian besar anggaran stunting dipakai untuk kegiatan administrasi, rapat, dan perjalanan dinas. Sementara dana untuk membeli makanan sumber protein justru lebih sedikit. Tak optimalnya penggunaan anggaran mengancam tercapainya target penurunan stunting menjadi 14% pada 2024. Bagaimana pula dampak orang tua perokok bagi anak?
Vika Azkiya Dihni
23 Juni 2023, 13.34
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan stunting atau tengkes sebagai gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak. Penyebabnya bisa karena kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang. Kondisi ini berdampak terhadap tinggi badan anak lebih rendah dari standar usianya. Selain itu, kemampuan berpikir menjadi kurang optimal.

Tak hanya dapat menyebabkan gagal tumbuh dan hambatan perkembangan kognitif dan motorik, stunting juga bisa menimbulkan kerugian ekonomi di masa depan. Kementerian Kesehatan memperkirakan kerugiannya mencapai 2-3% terhadap produk domestik bruto (PDB) setiap tahun. 

Belum lama ini Presiden Joko Widodo geram karena tidak optimalnya penggunaan anggaran negara untuk menurunkan stunting. Dia menyebutkan ada suatu daerah memiliki alokasi dana Rp10 miliar untuk penanganan stunting. Namun sebagian besar dipakai untuk rapat, perencanaan, perjalanan dinas, dan lain-lain. 

“Yang buat beli telur itu nggak benar-benar Rp2 miliar. Kapan stuntingnya akan selesai kalau begini?” ujar Jokowi saat membuka Rakornas Pengawasan Intern Pemerintah Tahun 2023, di Jakarta, Rabu 14 Juni 2023.

Menurutnya, alokasi terbesar semestinya dipakai untuk membeli telur, susu, ikan, daging, atau sayur. “Ini yang harus diubah,” ujar dia. 

Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan, tingkat prevalensi balita stunting di tanah air mencapai 21,6% pada 2022. Meski turun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, angkanya masih lebih tinggi dari toleransi WHO yang sebesar 20%. 

Dari 34 provinsi, ada 11 provinsi yang memiliki angka prevalensi di bawah standar. Nusa Tenggara Timur menempati posisi teratas dengan prevalensi stunting tertinggi. Sementara yang terendah adalah Bali. Bali juga menjadi satu-satunya provinsi yang angka prevalensi stuntingnya di bawah 10%.

Menteri PPN/ Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan target penurunan angka stunting sebesar 14% dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024 sulit tercapai. Hal ini karena rata-rata penurunan hanya sebesar 2,1% pada 2022 dibandingkan tahun sebelumnya.

“Diperlukan penurunan prevalensi sebesar 3,8% per tahun untuk capai target,” kata Menteri PPN/ Kepala Bappenas Suharso dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin, 5 Juni 2023.

Balita dari Keluarga Perokok Lebih Berisiko

Bukan cuma karena kurang gizi, balita yang orang tuanya merokok juga berpotensi menyebabkan anaknya tengkes. Hal ini turut menjadi hambatan untuk menurunkan stunting di tanah air. Sejumlah riset menunjukkan anak yang hidup di tengah keluarga perokok memiliki risiko mengalami stunting lebih tinggi dibandingkan anak di keluarga bukan perokok. 

Selain mengganggu penyerapan gizi, ayah yang merokok berpotensi meningkatkan risiko penyakit genetik. Tak hanya itu, orang tua perokok lebih mudah membelanjakan uangnya untuk membeli rokok daripada membeli protein hewani seperti telur dan ikan. Padahal protein menjadi salah satu asupan gizi terpenting untuk mencegah anak mengalami masalah stunting. 

Global Adult Tobacco Survey mencatat selama kurun 10 tahun terakhir terjadi peningkatan signifikan jumlah perokok dewasa di Indonesia. Dari 60,3 juta pada 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada 2021.

Beberapa penelitian menemukan, penyebab stunting lebih umum terjadi pada anak-anak dengan orang tua perokok. Penelitian yang dilakukan Semba et al. pada keluarga urban miskin di Indonesia menemukan paternal smoking atau keberadaan ayah yang merokok meningkatkan risiko stunting.

Mayoritas pemasukan rumah tangga juga dihabiskan untuk membeli rokok untuk konsumsi sang ayah. Akibatnya, alokasi pengeluaran untuk makanan pun menjadi lebih rendah. Apalagi, biaya untuk belanja rokok di rumah tangga jauh lebih besar dibandingkan belanja untuk pangan sumber protein hewani seperti ikan dan telur.

Hasil penelitian Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) mencatat kejadian stunting pada anak dari keluarga perokok 5,5% lebih tinggi dibandingkan dengan anak dari keluarga bukan perokok.

Riset ini mengungkap anak-anak yang tinggal dengan orang tua yang tidak merokok akan tumbuh 1,5 kg lebih berat dan 0,34 cm lebih tinggi daripada mereka yang tinggal dengan orang tua perokok kronis. Ini menunjukkan bahwa perokok aktif cenderung memiliki probabilitas anak-anak pendek atau kerdil.

Kebiasaan ayah yang merokok di dalam rumah menghasilkan asap rokok yang mengganggu penyerapan gizi pada anak. Ini pada akhirnya akan mengganggu tumbuh kembangnya. Jika ibu hamil terpapar asap rokok, maka dampak yang ditimbulkan juga terjadi pada janin yang dikandungnya.

Fitra Duhita, dkk. dalam artikel “Dampak Kesehatan Anak Pada Periode Embrio, Janin, Bayi dan Usia Sekolah dengan Ayah Perokok” menjelaskan bahwa paparan asap rokok saat anak pada periode embrio dapat mengakibatkan terjadinya abortus spontan.

Kemudian pada periode janin mengakibatkan persalinan prematur dan berat badan bayi rendah, sementara pada periode bayi meningkatnya risiko asma dan keterlambatan perkembangan mental. Keadaan ini disebabkan komponen kimia yang terkandung di dalam asap rokok yang berbahaya. 

Karbon monoksida (CO) hasil pembakaran asap rokok mengakibatkan oksigen yang diedarkan melalui sirkulasi darah menuju seluruh tubuh menurun. Karena hemoglobin yang seharusnya mengikat oksigen saja, berubah menjadi mengikat CO membentuk carboxyhemoglobin (COHb). 

Hal ini menyebabkan terjadinya fetotoxicity yang termanifestasi dalam bentuk hipoksia janin. Kondisi ini berkaitan dengan terjadinya gangguan pertumbuhan janin. Karena itu, bayi dengan gangguan pertumbuhan berisiko mengalami berat badan lahir rendah.

Namun tidak hanya karena asap rokok, studi yang dilakukan peneliti di University of Bradford, Inggris menemukan ada risiko perubahan genetik pada anak dari ayah perokok.

Pria yang merokok akan mengalami kerusakan gen pada DNA mereka. Gen rusak yang diturunkan dari ayah perokok kepada anak akan meningkatkan risiko anak mengalami berbagai penyakit seperti kanker, terutama leukemia. 

Para peneliti mengungkap sel sperma membutuhkan waktu tiga bulan untuk diproduksi. Sehingga, bila pria menginginkan anak sehat harus menghentikan kebiasaan menghisap tembakau minimal 12 pekan sebelum merencanakan kehamilan. 

“Ini agar menghindari risiko kecacatan genetik pada anak,” kata Dr Diana Anderson, profesor Ilmu Biomedical Universitas Bradford, Inggris, seperti dikutip daily mail. “Ayah yang merokok saat pembuahan dapat menyebabkan perubahan genetik pada anak-anak mereka”.

Editor: Aria W. Yudhistira