Belum lama ini, Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat membuat pernyataan tentang ciri-ciri penduduk miskin. Menurutnya, orang miskin akan memilih makan nasi dengan porsi banyak.
“Kalau nasinya ambil banyak, itu orang miskin. Tapi kalau ambil yang banyak protein, itu orang kaya,” kata Viktor saat menghadiri acara peringatan hari ulang tahun yang ke-2 Badan Pangan Nasional (Bapanas) di Kupang, NTT, Sabtu 12 Agustus 2023.
Menurut dia, pemerintah perlu mendorong kebutuhan pangan masyarakat yang banyak protein bukan karbohidrat. Jika masih terjadi keributan terkait beras, artinya masyarakat sedang miskin.
Di Indonesia, beras merupakan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat. Selain diolah menjadi nasi, makanan berkarbohidrat tinggi ini juga terbiasa diolah dengan cara lain, seperti lontong maupun arem-arem yang dibalut dengan daun pisang. Bahkan ada anggapan bahwa “belum kenyang kalau belum makan nasi.”
Pola konsumsi makanan memang berkaitan erat dengan kemampuan ekonomi masyarakat seperti disampaikan Viktor.
Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2022 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat perbedaan antara masyarakat yang lebih sejahtera dan kurang sejahtera dalam mengonsumsi makanan. Masyarakat yang berada pada kelompok pengeluaran tertinggi cenderung mengonsumsi karbohidrat lebih sedikit.
Pada komoditas padi-padian misalnya, porsi pengeluaran per kapita di kelompok pengeluaran tertinggi (di atas Rp1,5 juta per bulan) hanya 7% dari total pengeluaran makanan. Kelompok padi-padian di antaranya beras, jagung, tepung terigu, serta padi-padian lainnya.
(Baca: Besar-Kecil Penghasilan Menentukan Belanja Kebutuhan Pokok)
Porsi pengeluaran ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat di kelompok pengeluaran terendah (kurang dari Rp150 ribu per bulan) yang mencapai 34%.
Sebaliknya, masyarakat yang lebih sejahtera mengonsumsi protein lebih banyak. Seperti pada komoditas daging, porsi pengeluaran per kapita pada kelompok pengeluaran tertinggi sebesar 6%. Sedangkan di kelompok pengeluaran terbawah tak sampai 2%.
Jika dilihat berdasarkan data per provinsi, terlihat bahwa provinsi yang lebih miskin lebih banyak mengonsumsi beras. Masyarakat di Nusa Tenggara Timur (NTT) rata-rata mengonsumsi beras paling banyak, yakni 8,68 kilogram (kg). Jumlahnya 1,5 kali lebih banyak dari warga DKI Jakarta.
Adapun tingkat pengeluaran per kapita di DKI Jakarta sebesar Rp2,5 juta per bulan. Angka ini hampir tiga kali lebih banyak dari warga NTT, yang sekaligus menandai warga di ibu kota lebih sejahtera.
Produk utama pertanian di NTT sebetulnya adalah jagung, yang juga menjadi makanan pokok masyarakat di sana. Hal ini mengingat lahan di sebagian besar provinsi NTT berupa lahan kering, yang kurang produktif untuk tanaman padi.
Selain kualitas lahan, NTT dikenal sebagai provinsi yang mempunyai curah hujan rendah dan tidak menentu. Hal ini membuat usaha pertanian tanaman semusim umumnya hanya dapat dilaksanakan sekali dalam setahun yaitu pada musim hujan.
Namun terjadi lonjakan konsumsi beras yang cukup tinggi di NTT. Menurut Arifin M dkk (1992) dalam artikel Pola Konsumsi Pangan Pokok di Beberapa Propinsi di Indonesia dalam jurnal Agro Ekonomi menunjukkan terjadi pergeseran pada makanan pokok di NTT, yaitu dari jagung ke beras sejak 1987.
Meski demikian, NTT belum mampu memproduksi beras untuk memenuhi kebutuhan lokal. Data BPS menunjukkan, produksi beras di NTT pada 2022 sebesar 442.842 ton. Sedangkan tingkat konsumsi beras hampir 1 juta ton per tahun. Kondisi ini membuat NTT bergantung pada beras dari luar wilayah.
Tingginya konsumsi beras tersebut tidak dibarengi dengan tingginya konsumsi makanan yang mengandung protein. Pada 2022, NTT merupakan satu dari lima provinsi yang memiliki konsumsi protein di bawah standar kecukupan (AKP 57 gram/kap/hari).
Data BPS juga menunjukkan NTT menjadi provinsi termiskin ketiga dengan persentase penduduk miskin mencapai 20,23% pada September 2022. Pengeluaran untuk makanan akan bergantung pada seberapa banyak uang yang dimiliki seseorang. Ketika orang mempunyai lebih banyak uang, mereka mampu membeli makanan yang beragam dan berkualitas.
(Baca: Mengapa Lonjakan Harga Pangan Paling Memukul Orang Miskin?)
Hal ini menunjukkan bahwa daya beli menjadi hal yang penting bagi aksesibilitas pangan. Ini sejalan dengan penelitian N Firdaus dkk (2017) How Food Consumption Pattern And Dietary Diversity Influence Food Security: Evidence From DI Yogyakarta And East Nusa Tenggara dalam Jurnal Ekonomi dan Pembangunan.
Penelitian tersebut menemukan bahwa pengeluaran memiliki hubungan yang kuat dengan keragaman pangan. Artinya persoalan kemiskinan ada kaitannya dengan konsumsi masyarakat.
Masyarakat miskin memiliki akses terbatas terhadap pangan karena fokus mereka adalah bagaimana memenuhi kebutuhan pangan, yang tentunya memilih yang harganya relatif murah dan mengenyangkan. Sementara masyarakat yang mempunyai uang lebih akan mengalokasikan pengeluarannya untuk meningkatkan kualitas konsumsinya.
Editor: Aria W. Yudhistira