Advertisement
Analisis | Besar-Kecil Penghasilan Menentukan Belanja Kebutuhan Pokok - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Besar-Kecil Penghasilan Menentukan Belanja Kebutuhan Pokok

Foto: Joshua Siringo-ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Kesenjangan antara penduduk kaya dan miskin juga terlihat dari jenis barang belanjaannya sehari-hari. Orang miskin menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk membeli makanan, terutama beras. Sedangkan kebutuhan pokok kalangan berpenghasilan lebih tinggi adalah nonpangan, seperti pendidikan, kebutuhan rumah, dan kesehatan.
Vika Azkiya Dihni
13 September 2022, 05.55
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Semakin kaya seseorang, makanan tidak lagi menjadi kebutuhan pokok yang utama. Ini terlihat dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2021 dari Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa semakin sejahtera, pangsa pengeluaran pangan semakin berkurang.

Pangsa pengeluaran pangan adalah rasio pengeluaran untuk belanja pangan. Ini dihitung dari total pengeluaran penduduk selama satu bulan. Pada kelompok penduduk kuintil pertama, pangsa pengeluaran pangan sebesar 63,64%.

BPS membagi pengelompokan pengeluaran rumah tangga dalam lima kuintil. Semakin tinggi kuintil, menunjukkan tingkat yang semakin sejahtera.

Sebagaimana terlihat pada grafik, semakin tinggi kuintil pangsa pengeluaran pangan semakin rendah. Secara nasional, penduduk di kuintil kelima memiliki pangsa pengeluaran pangan tak sampai 50%, tepatnya hanya 39,49%.

Artinya, semakin kaya seseorang kebutuhan utamanya bukan hanya pangan. Sebagian besar kebutuhan mereka termasuk dalam kelompok nonpangan, seperti biaya perumahan, pendidikan, dan sebagainya.

Sedangkan penduduk yang kurang sejahtera, pendapatannya hanya cukup untuk kebutuhan pangan. Mereka kesulitan memenuhi kebutuhan lain, selain untuk bertahan hidup.

(Baca: Ekonomi Melesat tapi Kesenjangan Kian Melebar Pasca-Krisis 1998)

Kondisi ini sesuai dengan teori Ernst Engel, seorang ekonom politik dan ahli statistik, bahwa saat pendapatan meningkat proporsi pendapatan yang dihabiskan untuk membeli makanan berkurang. Seseorang bisa dikatakan lebih sejahtera apabila porsi pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dari porsi pengeluaran untuk nonmakanan.

Jika dilihat per provinsi, DKI Jakarta memiliki pangsa pengeluaran pangan paling rendah di antara provinsi lainnya di Indonesia, yakni hanya 37,43%. Namun Jakarta memiliki rata-rata total pengeluaran yang paling tinggi.  

Sementara, penduduk di Nusa Tenggara Timur yang rata-rata total pengeluarannya paling rendah, menggunakan lebih dari 58,45% dari total pengeluarannya untuk konsumsi pangan.

Prioritas Makanan Penduduk Sejahtera Bukan Padi-padian

Pada kelompok masyarakat kuintil pertama, dari total pengeluaran untuk makanan, sebesar 20,78% dihabiskan untuk padi-padian. Perbedaan mencolok dibandingkan dengan penduduk di kuintil kelima, yang pengeluarannya hanya 7,05%. Porsinya lebih sedikit daripada produk ikan/ udang/ cumi/ kerang.

Jika mereka yang berpendapatan rendah memenuhi kebutuhan pangannya pada jenis yang relatif murah dan mengenyangkan. Sedangkan yang berpendapatan tinggi yang diprioritaskan adalah sumber protein, terutama hewani seperti ikan dan daging.

Adapun dari setiap kuintil, pengeluaran untuk makanan dan minuman jadi merupakan yang terbesar. Setiap penduduk pada kuintil pertama rata-rata mengeluarkan sebanyak 24,51% dari total pengeluaran makanan. Sedangkan penduduk di kuintil kelima mencapai 37,22%.

(Baca: Beban Orang Miskin Akibat Kenaikan Harga BBM dan Inflasi)

Ketimpangan Pengeluaran Nonpangan

Terlihat pula adanya selisih yang cukup tinggi untuk pengeluaran komoditas bukan makanan antara kuintil tertinggi dan terendah. Ini terutama untuk keperluan barang tahan lama.

Pada kelompok kuintil pertama, rata-rata pengeluaran sebesar Rp4.770 per kapita sebulan, setara 2,9% dari total pengeluaran bukan makanan. Sedangkan pada kuintil kelima pengeluarannya jauh lebih besar yaitu Rp200.462 atau 11,3% dari total pengeluaran bukan makanan.

Hal ini sekaligus menunjukkan, selain karena perbedaan pendapatan, gaya hidup juga bisa mempengaruhi pola konsumsi masyarakat.

(Baca: Peluang Indonesia Terbebas dari Kemiskinan Ekstrem pada 2024)

Editor: Aria W. Yudhistira