Advertisement
Advertisement
Analisis | Siapa Unggul di Jawa Tengah Pasca-Pecah Kongsinya PDIP dan Jokowi? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Siapa Unggul di Jawa Tengah Pasca-Pecah Kongsinya PDIP dan Jokowi?

Foto: Ilustrasi/ Katadata/ Bintan Insani
Jawa Tengah sejak lama jadi lumbung suara PDIP. Ada faktor sejarah dan populis yang menyebabkan PDIP meraup suara besar di wilayah itu. Namun, saat ini, kedua faktor tersebut diuji seiring retaknya hubungan Presiden Jokowi dengan PDIP. Ke mana suara warga Jawa Tengah bakal berlabuh?
Leoni Susanto
13 Desember 2023, 12.06
Button AI Summarize

Jawa Tengah adalah basis suara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Pada Pemilu 2019, partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri tersebut berhasil meraup 5,7 juta atau 29,7% dari total suara.

Seperti terlihat dari peta di bawah, dari 35 kabupaten/ kota di Jawa Tengah hampir seluruhnya dikuasai PDIP. Partai ini berhasil unggul di 28 kabupaten/ kota dengan rata-rata perolehan suara sebesar 31,2%. 

Di level kepala daerah, sebanyak 15 bupati/ wali kota merupakan kader partai berlambang banteng moncong putih. Dalam tiga kali pemilihan gubernur secara langsung, provinsi berpenduduk terbesar ketiga tersebut selalu dipegang tokoh yang direstui PDIP. Mulai dari Bibit Waluyo pada 2008 hingga Ganjar Pranowo pada 2013 dan 2018. 

Kantong Suara ‘Wong Cilik’ 

Jawa Tengah telah lama dikenal sebagai “kandang banteng” yang sulit ditembus partai-partai lain. Ini terlihat dari tren elektoral PDIP yang mendominasi sejak Pemilu 1999. Ada sejumlah faktor, seperti kedekatan ideologi dan mayoritas pemilih berasal dari kelompok masyarakat miskin atau “wong cilik”.

Kecuali pada masa Orde Baru, sejarah menunjukkan Jawa Tengah memang memiliki relasi erat dengan ketokohan Sukarno, bapak ideologi nasionalisme Indonesia. Pada Pemilu 1955, Partai Nasional Indonesia (PNI), yang menjadi kendaraan politik Sukarno, memperoleh suara tertinggi sebesar 33,5% dari total suara. 

PNI adalah salah satu partai yang berfusi bersama empat partai lain menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 1973. PDI kemudian bermutasi menjadi PDIP pada 1999.

Begitu pula dengan citra sebagai partainya wong cilik. Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi dengan penduduk miskin terbesar di Pulau Jawa. Survei LSI 16 – 18 Oktober 2023 menunjukkan, mayoritas pemilih PDIP berasal dari kelompok masyarakat berpendapatan di bawah Rp2 juta per bulan dan berpendidikan SMA ke bawah. 

Kedua narasi ini kerap dimainkan oleh PDIP untuk menarik suara pemilih. Seperti terlihat dari hasil Pemilu 1999 ketika berhasil meraup 33,7% suara. Keberhasilan ini tidak lepas dari pengaruh represi pemerintah Orde Baru terhadap perolehan suara partai berciri khas warna merah tersebut. 

Pada masa itu partai-partai politik, termasuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang kemudian bertransformasi menjadi PDIP, tidak diberi keleluasaan untuk mendekati rakyat. Popularitas PDI mulai menanjak pada awal 1990-an seiring terpilihnya Megawati Soekarnoputri, anak mantan Presiden Sukarno, sebagai ketua umum. 

Kehadiran Megawati dinilai sebagai harapan demokrasi dan wakil suara rakyat kecil di tengah otoritarianisme Orde Baru. Puncak represi tersebut terlihat dari Peristiwa 27 Juli 1996, yakni ketika massa yang didukung aparat menyerang kantor pusat PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta.

Menurut Hasto Kristiyanto, Satya Arinanto, dan Hanief Saha Ghafur dalam “Institutionalization and party resilience in Indonesian electoral democracy”, sejak lahir PDIP dikenal sebagai partainya wong cilik. Di bawah pimpinan Megawati, PDIP menjadi simbol perlawanan terhadap kesewenang-wenangan Orde Baru. Dari situ, PDIP mendapatkan kemenangan telak pada Pemilu 1999 setelah jatuhnya rezim Soeharto.

Dengan narasi tersebut, tak heran jika pernyataan Megawati yang menyindir pemerintah saat ini layaknya pemerintah Orde Baru. Dia menyentil keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah persyaratan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

“Mengapa sekarang kalian yang berkuasa itu mau bertindak seperti waktu zaman Orde Baru?” kata Megawati pada rapat koordinasi nasional relawan Ganjar – Mahfud, pada 27 November 2023.

Sebelumnya pada Agustus lalu, PDIP menggunakan narasi serupa saat Golkar dan PAN meninggalkan PDIP dan bergabung mendukung Prabowo. 

“PDIP memiliki sejarah panjang sebagai partai yang dididik dan dibesarkan dengan terbiasa dikeroyok secara politik. Di masa Orde Baru kami mengalami hal itu, di masa Jokowi-JK, begitu pula saat ini,” kata Ketua DPP PDIP Said Abdullah, pada 14 Agustus 2023.

Melalui narasi Orde Baru, PDIP ingin membangkitkan memori publik mengenai represi rezim Soeharto. Persoalannya, PDIP adalah bagian dari pemerintahan yang berkuasa saat ini. Partai ini merupakan pemenang dalam dua kali pemilu terakhir dan pendukung utama setiap kebijakan pemerintah di parlemen. 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah kader PDIP. Bahkan Megawati kerap memosisikannya sebagai “petugas partai”. Begitu pula anak dan menantunya, yakni Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution melenggang menjadi Wali Kota Surakarta dan Medan setelah memperoleh dukungan PDIP. 

Di samping masih menjadi bagian dari pemerintahan Joko Widodo, persoalan lainnya adalah mayoritas pemilih pada Pemilu 2024 merupakan kalangan muda. Jumlah pemilih Gen Z yang lahir pada rentang 1997-2012, mencapai 22,85%. Para pemilih ini sama sekali tidak pernah merasakan suasana zaman pada era Orde Baru. 

Maka tak heran dari sejumlah survei menunjukkan pemilih Gen Z condong ke pasangan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka, meskipun pasangan ini dinilai kontroversial. Prabowo memiliki rekam jejak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Salah satunya karena dianggap sebagai otak penculikan sejumlah aktivis pada 1997-1998. Sementara penunjukkan Gibran sebagai cawapres kontroversial karena diputuskan melalui sidang MK yang dianggap bermasalah. 

Narasi Orde Baru dan Wong Cilik Mampu Selamatkan PDIP?

Renggangnya hubungan PDIP dengan Joko Widodo berdampak pada elektabilitas partai. Dari survei Poltracking, misalnya, tingkat keterpilihan PDIP cenderung turun pada periode September-November 2023 pascapengumuman capres dan cawapres. Sebaliknya, elektabilitas Gerindra sebagai partai pengusung koalisi Prabowo – Gibran mengalami peningkatan.

Khusus di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, elektabilitas Ganjar Pranowo – Mahfud Md yang didukung PDIP juga mengalami penurunan pada November 2023. Sebaliknya, elektabilitas Prabowo – Gibran meningkat dari 15% pada September 2023 menjadi 27,2% pada November 2023.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira