Ringkasan
- Kelas menengah Indonesia merasa kecewa dengan kondisi Tanah Air yang tidak memberikan jaminan hidup layak, sehingga mereka memilih untuk pergi ke luar negeri untuk bekerja atau studi.
- Proporsi kelas menengah yang semakin menyusut, dengan sebagian memilih untuk naik kelas atau turun kelas, mengindikasikan terbatasnya ruang bagi mereka untuk menabung, berinvestasi, atau mengalokasikan dana untuk kebutuhan lainnya.
- Kelas menengah menghadapi tantangan biaya hidup yang tinggi, tercermin dari peningkatan pengeluaran untuk kebutuhan pokok dan penurunan pengeluaran untuk barang tahan lama. Pos pengeluaran untuk kebutuhan pokok mencapai 41% dari pendapatan mereka, dan hampir 60% pendapatan tercukur untuk kebutuhan pokok dan cicilan.

Tanda pagar (tagar/hashtag) #KaburAjaDulu atau “kabur aja dulu” sedang ramai di media sosial. Tagar ini didengungkan kalangan anak muda, terutama dari kelompok usia produktif, untuk menyingkir sejenak ke luar negeri, baik untuk bekerja maupun studi. Sejumlah pengamat menilai sikap ini sebagai bentuk dari kekecewaan mereka terhadap kondisi di Tanah Air, yang dianggap tidak dapat memberikan jaminan hidup layak.
Anak-anak muda usia produktif ini adalah bagian dari kelompok kelas menengah Indonesia, dengan pendidikan dan tingkat pengeluaran yang cukup tinggi. Di media sosial, mereka mengaku sebagai generasi sandwich, yang tidak hanya memenuhi kebutuhan pribadi tetapi juga harus menanggung beban orang tua atau saudara. Beratnya beban ekonomi tersebut menjadi salah satu alasan mereka “kabur aja dulu” untuk mencari penghasilan yang lebih layak di luar negeri.
Kelas menengah memegang peran penting bagi perekonomian Indonesia. Studi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) menyebut kelompok ini menyumbang 82,3% dari total konsumsi rumah tangga pada 2023. Menurut definisi Badan Pusat Statistik (BPS), kelas menengah adalah individu yang memiliki tingkat pengeluaran berkisar Rp2,04 juta hingga Rp9,9 juta per bulan. Kelompok ini berada di atas garis kemiskinan Indonesia yang sebesar Rp595.242 per kapita per bulan menurut standar terbaru BPS.
Namun, proporsi mereka justru makin menyusut dalam lima tahun terakhir. Penurunan ini sebetulnya dapat diinterpretasikan dalam dua arah: naik kelas atau turun kelas. Masalahnya, dalam data yang sama, proporsi kelas atas hampir tidak berubah, yaitu dari 0,46% pada 2019 menjadi 0,49% pada 2023.
Di lain sisi, golongan menuju kelas menengah konstan mengalami peningkatan dari 46% menjadi 48,5% dalam rentang yang sama. Golongan yang disebut terakhir ini adalah mereka yang berada di antara kelas rentan miskin dan kelas menengah.
Besarnya Pengeluaran
Tanda-tanda turunnya kelas menengah terlihat pula dari perubahan pola konsumsi mereka. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan, pengeluaran mereka untuk kebutuhan pokok mengalami peningkatan, yakni makanan dari 20,2% menjadi 22,3% dan kebutuhan rumah tangga dari 11,4% menjadi 16,9% selama satu dekade terakhir.
Sebaliknya, ada penurunan signifikan pada kategori pengeluaran barang tahan lama, yang mencakup peralatan rumah tangga atau barang elektronik. Pengeluaran jenis ini tidak termasuk kebutuhan pokok. Persentasenya turun dari 4,81% pada 2014 menjadi 2,92% pada 2023.
Ini mengindikasikan adanya pengaruh tekanan ekonomi dalam perubahan pola belanja kelas menengah. Survei terbaru Katadata Insight Center (KIC) menemukan pos pengeluaran kelas menengah untuk kebutuhan pokok mencapai 41%. Rasio ini terbilang tinggi terhadap pendapatan mereka. Lalu 18,4% untuk pembayaran cicilan. Kedua pos itu mencukur hampir 60% pengeluaran mereka setiap bulan.
Situasi ini mencerminkan ruang yang semakin terbatas bagi kelas menengah untuk menabung, berinvestasi, atau mengalokasikan dana untuk kebutuhan lainnya. Meski rata-rata memiliki porsi tabungan yang cukup besar, yakni sekitar 19% dari penghasilan, kelas menengah tetap rentan terhadap guncangan ekonomi, seperti inflasi atau kenaikan biaya hidup, yang dapat mempersempit sisa pendapatan mereka.
Survei KIC yang dilakukan selama 6-9 Januari 2025 ini melibatkan 472 responden dengan rentang usia 17-59 tahun, dan berasal dari tiga tingkat status ekonomi dan sosial (SES) yang berbeda. SES C adalah kelompok dengan pengeluaran terendah, berkisar Rp2-4 juta; SES B Rp4-6 juta; dan SES A Rp6-10 juta. Adapun SES C menjadi responden terbanyak di survei ini dengan persentase mencapai 76,1%, diikuti oleh SES B dengan 15,5%.
“Kelas menengah adalah salah satu pendorong ekonomi yang sangat penting. Dan kami mau tahu bagaimana concern mereka terhadap ketidakpastian ekonomi ini. Optimismenya ternyata cukup tinggi," ujar Gundy Cahyadi, Direktur Riset Katadata Insight Center, Jumat, 14 Februari 2025.
Optimisme yang dimaksud Gundy tercermin dari bagaimana para responden menilai prospek pekerjaan mereka, paling tidak sampai satu tahun ke depan. Mayoritas responden ternyata yakin akan ada peningkatan penghasilan, stabilitas pekerjaan, hingga promosi yang bakal mereka dapatkan.
Namun sebagian besar optimisme itu ternyata ditopang oleh keyakinan bahwa pendapatan mereka akan naik semata-mata karena kenaikan gaji atau upah telah ditetapkan oleh pemerintah setiap tahunnya. Sebaliknya, hanya 32,1% responden yang yakin akan ada peningkatan ekonomi dalam hidup mereka karena meningkatnya skala perusahaan tempat mereka bekerja.
“Optimisme dari kelas menengah bukan berasal dari kepercayaan ekonomi yang membaik, tapi lebih kepada alasan administrasi (regulasi kenaikan upah minimum),” Gundy menambahkan. Malahan, empat dari lima responden mengaku menginginkan pekerjaan yang lebih baik demi karier yang lebih bersinar dan gaji yang lebih tinggi.
Survei juga menunjukkan 46,2% dari total responden mengaku memiliki pekerjaan sampingan di luar pekerjaan utama. Mereka beralasan kerja sampingan lantaran desakan faktor ekonomi yakni keinginan untuk meningkatkan pendapatan dan tabungan, mencapai tujuan finansial, sampai demi membayar utang.
Alasan melakoni pekerjaan sampingan selanjutnya adalah demi mengembangkan minat, mengisi waktu luang, dan mengurangi stres. Sisanya beralasan memulai bisnis baru demi membangun jaringan, mengurangi ketergantungan pekerjaan utama, dan mempersiapkan kewirausahaan.
Lebih lanjut, mayoritas kelas menengah yang memiliki pekerjaan sampingan berencana untuk terus menjalankannya di masa mendatang, setidaknya hingga lima tahun ke depan (92,7%). Tren ini konsisten di semua kelompok umur dan SES, yaitu di atas 90% responden.
Hal ini mencerminkan bahwa pekerjaan sampingan telah menjadi salah satu strategi utama kelas menengah untuk bertahan atau meningkatkan kesejahteraannya. Fenomena ini menggarisbawahi pentingnya diversifikasi sumber penghasilan sebagai elemen penting dalam keuangan mereka.
Survei KIC yang berjudul “Kelas Menengah Indonesia di Tengah Ketidakpastian Ekonomi” itu juga menemukan 7 dari 10 orang kelas menengah sudah melakukan perencanaan keuangan. Ini juga mengindikasikan mayoritas dari mereka punya kesadaran finansial yang lebih baik.
Sebagian besar dari mereka terbiasa membedakan tagihan bulanan dengan keperluan sehari-hari. Nyaris setengah dari responden juga mengaku mencatat pengeluaran (42,2%) dan tagihan bulanan yang akan datang (33,1%). Dalam porsi yang lebih kecil, mereka menggunakan alat pengelolaan uang yang membantu mereka mengatur laju kas.
Jika menilik kembali pos pengeluarannya, hampir 20% pendapatan mereka disisihkan untuk tabungan. Adapun sebagian besar responden (63,1%) menyisihkan uang mereka untuk kebutuhan tidak terduga atau dana darurat. Sebagian yang lain menyisihkannya untuk agenda produktif, seperti pendidikan, menjaga aset dari inflasi, hingga mengembangkan bisnis.
Hal itu berelasi dengan temuan survei KIC selanjutnya: sebagian besar responden lebih memilih makan tabungan ketimbang berutang. Adapun yang memilih opsi utang berbunga tak melebihi 15%. “Kelas menengah tidak naik kelas bukan karena kebiasaan buruk, tetapi memang pertumbuhan ekonomi (di Indonesia) yang tidak cukup,” kata Gundy.
Kekhawatiran Akan Masa Depan
Meski sudah sadar akan pentingnya perencanaan keuangan, tetapi kelas menengah Indonesia masih mengkhawatirkan masa depannya. KIC menyimpulkan, kelas menengah di negara ini masih jauh dari kebebasan finansial. Indikasi tersebut terlihat jelas pada tiga aspek utama yang disurvei, yaitu tempat tinggal, pendidikan, dan layanan kesehatan.
Dalam aspek tempat tinggal, dua dari tiga anggota kelas menengah Indonesia belum memiliki rumah atau tempat tinggal sendiri. Saat ini, sebagian besar dari mereka tinggal bersama orang tua (43,4%) atau menyewa (24,6%).
Adapun kategori SES C yang berpenghasilan terminim, adalah yang paling banyak tinggal di rumah orang tuanya (48%). Semakin tinggi pendapatannya, semakin besar persentase kepemilikan rumahnya.
Biaya juga menjadi kata kunci dalam bagaimana kelas menengah memandang pendidikan dan kesehatan. Persepsi mereka terhadap biaya pendidikan tergolong rendah, meskipun sedikit lebih baik dibandingkan persepsi terhadap pemerataan pendidikan.
Indikator biaya pendidikan memperoleh skor 5,74 dari total skor 10. Hal ini mengindikasikan bahwa biaya pendidikan masih menjadi beban yang signifikan bagi kelas menengah.
Adapun persepsi terhadap biaya kesehatan menunjukkan penilaian yang paling buruk dibandingkan indikator lainnya. Biaya kesehatan hanya memperoleh skor 5,85 dari total skor 10, jauh lebih rendah dari skor rata-rata keseluruhan indikator yang mencapai 6,67. Ini dapat menggambarkan betapa biaya kesehatan merupakan salah satu tantangan besar yang dihadapi kelas menengah.
Kekhawatiran kelas menengah terhadap masa pensiun juga didominasi oleh isu-isu finansial selain kekhawatiran terkait penurunan kondisi kesehatan seiring bertambahnya usia.
Dari enam kekhawatiran utama masa pensiun, empat di antaranya berkaitan langsung dengan masalah finansial, yaitu kurangnya pendapatan (54,4%), peningkatan biaya pengobatan (51,5%), inflasi dan kenaikan biaya hidup (39,4%), serta kurangnya tabungan (38,7%). Kekhawatiran ini menjadi tanda bahwa kelas menengah tidak yakin kalau mereka bisa siap secara finansial di masa depan.
Karena itulah, menurut Gundy, Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat untuk membantu mengangkat kelas menengah. Data menunjukkan ada relasi yang kuat antara pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan proporsi kelas menengah.
Kenaikan PDB per kapita cenderung diikuti oleh peningkatan persentase kelas menengah. Begitu pula sebaliknya, penurunan PDB akan selalu diiringi oleh penurunan persentase kelas menengah. “Kita perlu mencapai pertumbuhan ekonomi 8% untuk membantu mereka,” pungkas Gundy.
Ketidakpastian Bikin Orang Minggat
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai #KaburAjaDulu yang viral belakangan ini menunjukkan persepsi negatif publik terhadap pemerintah. “Mereka melihat masa depan yang tidak jelas,” katanya kepada Katadata.co.id, Senin, 17 Februari 2025.
Menurut dia, rendahnya kualitas hidup di Indonesia bisa dilihat dari laporan “Global Livability Index 2023” yang dikeluarkan Economist Intelligence Unit (EIU). DKI Jakarta, misalnya, sebagai ibu kota negara, menempati peringkat 139 dari 173 kota besar dunia yang disurvei.
“Jakarta saja, kota yang mempunyai sistem publik paling bagus di Indonesia, masih dinilai lebih buruk dibandingkan kota besar lainnya dari sisi transportasi, lingkungan, kesehatan, pendidikan, dan lainnya,” kata Nailul. “Bagi masyarakat yang sudah jenuh dan punya keinginan hidup lebih baik, dan bisa mencapai hal tersebut, mereka bisa kabur dulu.”
Masalahnya, menurut Nailul, yang dikhawatirkan adalah terjadinya brain drain: fenomena perpindahan individu terdidik dan terampil dari negara asal ke negara lain. “Masyarakat yang berkualitas lebih memilih karier di luar negeri yang menawarkan pendapatan lebih baik,” ujarnya.
Brain drain telah menjadi fenomena global. Beberapa studi menyebut fenomena ini dapat membikin negara-negara yang ditinggalkan kehilangan talenta-talenta terbaiknya. Human Flight and Brain Drain Index 2024 yang dirilis Bank Dunia mencatat Samoa, Palestina, dan Jamaika adalah tiga negara yang paling ditinggalkan warganya yang terdidik. Indonesia masih menduduki peringkat ke-88 dari 175 negara.
Editor: Aria W. Yudhistira