Advertisement
Advertisement
Analisis | Pukulan Ganda Industri Rokok di Masa Pandemi - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Pukulan Ganda Industri Rokok di Masa Pandemi

Foto: Joshua Siringo ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Industri hasil tembakau ikut terpukul dampak pandemi Covid-19 seiring penurunan konsumsi rokok. Pemicunya selain alasan kesehatan, faktor ekonomi akibat berkurangnya pendapatan. Rencana pemerintah menaikkan cukai bakal makin memukul industri rokok.
Dimas Jarot Bayu
8 September 2021, 17.09
Button AI Summarize

Tak ada lagi asap rokok yang mengepul dari mulut Fadia (25 tahun) semenjak pandemi Covid-19 terjadi. Di masa normal, perempuan yang menjadi jurnalis lepas ini bisa menghabiskan satu bungkus rokok setiap hari. Setelah perlahan mengurangi, dia lalu memutuskan berhenti merokok total pada awal Juni 2021.

Penyebabnya adalah faktor kesehatan. Dia khawatir kebiasaannya merokok dapat meningkatkan risiko yang lebih parah jika terinfeksi corona. Dirinya pun merasa kurang bugar karena kurang banyak bergerak selama pagebluk. Aktivitasnya lebih banyak dilakukan di depan laptop di kamar indekosnya.

Apalagi ada kawan di lingkungan tempat tinggalnya yang sudah terkena Covid-19. “Sempat kontak sama orang yang positif (corona), terus disuruh berhenti merokok oleh dokter. Jadinya keterusan sampai sekarang,” kata Fadia kepada Katadata.co.id pada Senin 6 September 2021.

Berbeda dengan Fadia, Ihya (29 tahun) memilih mengurangi konsumsi rokok karena ingin berhemat. Harga rokok saat ini, menurutnya, cenderung meningkat seiring kenaikan cukai hasil tembakau (CHT). Pada 2020 pemerintah menaikkan CHT sebesar 23%, dan berencana kembali menaikkan 12,5% pada tahun ini.

Biasanya Ihya menghabiskan sekitar 16 batang rokok setiap hari. Namun saat ini konsumsinya berkurang drastis menjadi sekitar 1-2 batang rokok per pekan. Dia beralasan, dirinya bakal sulit berhemat jika konsumsi rokoknya tetap sama ketika harganya semakin mahal.

“Karena pandemi corona, saya takut pendapatan saya terpengaruh. Makanya berhemat dengan mengurangi rokok,” kata Ihya.

Apa yang disampaikan Fadia dan Ihya tersebut sejalan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS). Jumlah perokok usia 15 tahun ke atas, berkurang dari 29,03% menjadi 28,69% pada 2020.

Sebagian dari perokok memilih untuk mengurangi konsumsinya. Hasil survei Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) yang dirilis pada 26 Agustus 2021 lalu, menyebutkan dari 1.082 responden terdapat 29% perokok aktif persisten yang tetap merokok selama pandemi.

Dari para perokok aktif tersebut, sebanyak 37% mengaku mulai mengurangi jumlah batang rokok yang dikonsumsi. Namun mayoritas atau sebanyak 60% mengatakan konsumsinya tidak berubah sama sekali. Sedangkan 3% justru jumlah rokok yang dihisapnya meningkat.

Dari sisi pengeluaran, 42% telah mengurangi pengeluaran untuk merokok. Kemudian sebanyak 55% tetap mermpertahankan anggaran untuk merokok, dan 3% mengatakan belanja rokok mereka justru bertambah.

Sementara berdasarkan harga, sebanyak 24% memilih membeli rokok yang harganya lebih murah. Lalu 73% tidak mengubah harga rokok yang mereka beli, sedangkan 3% responden membeli rokok dengan harga yang lebih mahal.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira