Advertisement
Advertisement
Analisis | Mengapa Orang Indonesia Tak Pernah Meraih Hadiah Nobel? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Mengapa Orang Indonesia Tak Pernah Meraih Hadiah Nobel?

Foto: Joshua Siringo ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Sebagai salah satu negara dengan populasi terbesar, belum ada satupun orang atau organisasi asal Indonesia yang memperoleh hadiah Nobel. Sejarawan Peter Carey menyebutkan, sekurangnya ada dua orang Indonesia yang sempat berpotensi menerima Nobel: sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang melahirkan tetralogi Buru dan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mendorong perdamaian di Aceh.
Andrea Lidwina
20 Mei 2023, 09.15
Button AI Summarize

Sejarawan asal Inggris Peter Carey punya satu pertanyaan besar. “Mengapa Indonesia, negara dengan populasi keempat terbanyak di dunia, tidak pernah menang penghargaan Nobel sejak kemerdekaannya?” tanya Carey, seraya membuka acara Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada 13 April 2023.

Penghargaan Nobel diberikan pada individu atau organisasi yang telah “memberikan manfaat terbesar bagi umat manusia.” Penghargaan itu terdiri dari lima kategori—fisika, kimia, kesehatan, perdamaian, dan sastra—yang diberikan sejak 1901. Kategori ilmu ekonomi baru diberikan mulai 1969.

Sebanyak 615 penghargaan Nobel telah diberikan pada 959 individu dan 30 organisasi di enam kategori itu hingga 2022. Artinya, satu penghargaan dapat diberikan pada lebih dari satu orang atau tim pada tahun yang sama.

Beberapa individu dan organisasi pun pernah menerima penghargaan itu lebih dari satu kali. Misalnya, Marie Curie (Nobel Fisika 1903 dan Nobel Kimia 1911) serta Komite Internasional Palang Merah (Nobel Perdamaian 1917, 1944, 1963). 

Jika mengecualikan mereka yang menerima penghargaan lebih dari satu kali, maka total sebanyak 954 individu dan 27 organisasi penerima Nobel sepanjang 1901-2022.

Namun, Indonesia belum pernah mencatatkan namanya dalam daftar pemenang Nobel sejak menjadi negara merdeka dan berdaulat pada 1945. Carey lantas membandingkan 10 negara dengan populasi terbesar di dunia dan jumlah penghargaan Nobel yang diterima masing-masing negara.

Hasilnya, Amerika Serikat memimpin daftar itu dengan 403 penerima Nobel dalam 120 tahun terakhir. Lalu, diikuti Rusia dengan 32 penerima, India 12 penerima, Tiongkok sembilan penerima, Meksiko tiga penerima, dan Pakistan dua penerima.

Nigeria, Brasil, dan Bangladesh pun meninggalkan “perolehan” Indonesia, masing-masing dengan satu penerima Nobel.

Carey berpendapat ada dua tokoh Indonesia yang sebetulnya berpotensi besar menjadi pemenang Nobel. Pertama, sastrawan Pramoedya Ananta Toer, untuk karya Tetralogi Buru, di kategori sastra. Empat novel tersebut banyak mengkritik feodalisme dalam latar kolonialisme.

Namun, peluang itu kandas. Sebagian menduga karena kualitas terjemahan novel-novel itu ke bahasa Inggris buruk, sehingga menurunkan kualitas kesusastraannya. Tak sedikit pula yang menduga karena sikap politik Pram sebagai aktivis kiri, sehingga dijegal pemerintah Orde Baru.

Kedua, mantan Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla (JK), untuk inisiatif Perjanjian Helsinki pada 2005, di kategori perdamaian. Perjanjian tersebut mengakhiri konflik panjang antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Peluang itu juga tidak berbuah manis. Serupa dengan Pram, JK bisa jadi gagal dilirik oleh Komite Nobel Norwegia, yang mengurus kategori perdamaian, karena bukan berasal dari negara berbahasa Inggris.

Pentingnya Menguasai Bahasa Global

Menurut Carey, kasus Pram dan JK menunjukkan soft power (kekuatan lunak) Indonesia masih lemah, sehingga tidak memiliki pengaruh dan posisi kuat di dunia. Karena itu, karya dan inisiatif penting dari dalam negeri pun belum diperhitungkan oleh Komite Nobel.

Joseph Nye dalam buku Soft Power: The Means to Success in World Politics (2004) mendefinisikan soft power sebagai kemampuan satu pihak untuk memengaruhi pihak lain tanpa paksaan. Dengan kata lain, kekuasaan diperoleh dengan cara-cara yang persuasif.

Salah satunya, melalui bahasa. Forum Ekonomi Dunia (WEF) sempat merilis Indeks Kekuatan Bahasa (Power Language Index/PLI) pada 2016. Bahasa Inggris menduduki peringkat pertama sebagai bahasa terkuat di dunia. Sebab, bahasa itu merupakan bahasa perantara (lingua franca) masyarakat global.

Artinya, bahasa Inggris dipahami dan digunakan oleh penduduk di banyak negara. WEF menambahkan, negara-negara yang mampu berbahasa Inggris pun umumnya memiliki pengaruh lebih besar. Misalnya, pembuatan kebijakan global selalu dilakukan dalam bahasa Inggris sebagai bahasa perantara dunia.

“Jadi, (pembuatan kebijakan global) mungkin mengabaikan perhatian negara-negara yang tidak atau lemah berbahasa Inggris,” tulis WEF.

Lantas, bagaimana dengan posisi dan kekuatan bahasa Indonesia?

Sejarawan Benedict Anderson dalam tulisannya “The Unrewarded” di jurnal New Left Review (2013) mengatakan terjadi nasionalisasi bahasa di Asia Tenggara pada abad ke-20. Negara-negara di kawasan ini tidak lagi menggunakan bahasa para penjajah dan menciptakan bahasa nasional sendiri.

Indonesia pun melahirkan bahasa Indonesia. Bahkan, menurut Anderson, bahasa Indonesia jadi satu-satunya bahasa nasional yang dicapai tanpa penolakan dan menjadi bahasa perantara masyarakat.

Namun, nasionalisasi bahasa membuat Asia Tenggara tidak memiliki “sekutu yang energik di Eropa, di belahan bumi Barat, atau bahkan di dunia Islam.” Bahasa-bahasa nasional di kawasan ini juga tak punya “aura transnasional.”

Karena itu, dengan posisi dan daya tawar bahasa Indonesia yang lemah, Carey menyarakan penduduk tanah air harus bilingual atau mampu memakai dua bahasa dengan baik. Pertama, bahasa Indonesia. Kedua, bahasa yang digunakan secara global, seperti bahasa Inggris.

Berdasarkan Indeks Kecakapan Bahasa Inggris (English Proficiency Index/EPI) dari EF, Indonesia punya skor 469 pada 2022. Nilai itu cuma menempatkan Indonesia pada peringkat 81 dari total 111 negara dalam indeks tersebut. Di Asia, Indonesia berada di peringkat 15 dari total 24 negara yang dinilai.

EF menggolongkan penguasaan bahasa Inggris di Indonesia tersebut ke dalam kategori lemah. Artinya, ini menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan agar Indonesia dapat mendunia.

Memosisikan Indonesia di Panggung Global

Selain bahasa, soft power bisa diperoleh dengan membuat suatu negara lebih dikenal penduduk dunia dari berbagai aspek. Misalnya, Korea Selatan (Korsel) mengenalkan negaranya melalui produk industri budaya, seperti K-pop dan K-drama. Upaya ini digagas dan didukung pemerintah Korsel sendiri sejak 1990-an.

Alih-alih membuat peta jalan (roadmap) untuk mempromosikan budayanya seperti Korsel, Indonesia malah menjadi target sasaran atau pasar dari produk industri budaya Korsel sendiri. Karena itu, tidak heran jika Carey mengatakan “tak ada upaya untuk membuat Indonesia lebih diketahui di luar negeri.”

Salah satu upaya sebetulnya muncul dengan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 pada Mei-Juni 2023. Namun, penolakan terhadap Timnas Israel menyirnakan kesempatan emas tersebut.

Carey juga mencontohkan, tidak ada institusi pendidikan tinggi di Indonesia yang masuk dalam daftar 200 besar dunia. Ini menunjukkan kualitas pengajaran dan penelitian di dalam negeri masih rendah, sekaligus menghambat reputasi Indonesia di bidang akademik. 

Berdasarkan daftar QS World University Rankings, universitas terbaik dunia memang masih didominasi Inggris dan Amerika Serikat pada 2023. Namun, Singapura berhasil mencatatkan National University of Singapore (NUS) pada posisi ke-11 dan Nanyang Technological University (NTU) pada posisi ke-19.

Sedangkan, peringkat tertinggi bagi universitas asal Indonesia adalah peringkat 231 bagi Universitas Gadjah Mada (UGM). Kemudian, Institut Teknologi Bandung (ITB) ada di peringkat 235 dan Universitas Indonesia (UI) di peringkat 248.

Selanjutnya, kiprah para diaspora dan pekerja migran bisa menempatkan Indonesia di panggung dunia. Misalnya, dua ilmuwan Indonesia Carina Joe dan Indra Rudiansyah yang terlibat dalam penelitian dan pembuatan vaksin Covid-19 AstraZeneca, yang digagas oleh University of Oxford.

Keterlibatan keduanya turut mengenalkan kapasitas dan potensi sumber daya manusia asal Indonesia di dunia akademik internasional. Prestasi semacam ini sebetulnya terus dibutuhkan untuk mendukung tumbuhnya soft power tersebut.

Sebagai gambaran, data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan jumlah migran dari Indonesia yang menetap di luar negeri sebanyak 4,6 juta orang pada 2020. Namun, data itu tidak merinci kegiatan atau pekerjaan para migran tersebut.

Sayangnya, pemerintah Indonesia biasanya menuntut mereka untuk pulang dan berkontribusi di tanah air. Menurut kandidat doktor Antropologi Sosial UV Amsterdam Pamungkas Dewanto dalam tulisannya di The Conversation (2022), tuntutan itu menganggap kontribusi seseorang ditentukan berdasarkan di mana ia hadir atau berada.

Padahal, kemajuan teknologi hari ini telah menghapus hambatan dalam bentuk batas-batas teritorial. Dengan begitu, kontribusi dan manfaat dari para diaspora di mana pun mereka berada tetap bisa dirasakan masyarakat Indonesia.

Memiliki soft power memang tidak serta-merta akan membuat Indonesia memperoleh penghargaan Nobel. Baik Carey maupun Anderson mengakui pemberian Nobel seringkali politis. Tergantung kondisi politik, tergantung kondisi zaman.

Tak hanya itu, Carey mengatakan banyak hal dalam dunia akademik di Indonesia yang harus diperbaiki agar bisa memenangkan Nobel. Misalnya, gaji dosen rendah, absennya budaya tinjauan sejawat (peer review) yang mumpuni, dan tidak adanya cuti panjang (sabbatical leave) untuk riset mandiri.

Ketiganya turut berkontribusi atas tidak tumbuhnya kultur ilmiah dalam dunia akademik tanah air.

Namun, dengan memiliki soft power, Indonesia bakal dipandang dan diperhitungkan, bahkan mungkin didukung oleh negara-negara lain. Profil Indonesia di panggung global pada masa mendatang pun bisa berubah menjadi tidak hanya big zero, seperti yang ada di layar presentasi Peter Carey.

Editor: Aria W. Yudhistira