Joseph Schumpeter dalam The Theory of Economic Development mengatakan, kewirausahaan merupakan salah satu roda penggerak pembangunan ekonomi. Kewirausahaan atau entrepreneurship akan mendorong inovasi, menciptakan lapangan pekerjaan baru, dan peningkatan penerimaan negara melalui pajak.
Seorang wirausahawan atau pengusaha memiliki motivasi atau mimpi tinggi, berani mencoba, inovatif, dan mandiri. Mereka dituntut mampu melakukan perubahan dan menghasilkan sesuatu yang baru. Dengan kemampuan tersebut akan membuat usahanya lebih bernilai sehingga menjadi daya tarik konsumen.
Alhasil, akan terjadi pertukaran barang dan jasa, baik berupa sumber daya alam, uang, sumber daya sosial, kesempatan, maupun sumber daya manusia. Dalam ilmu ekonomi, kondisi ini dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Persoalannya, jumlah wirausahawan di Indonesia masih tergolong sedikit. Dibandingkan negara lain, rasio kewirausahaan Indonesia masih rendah, yakni hanya 3,47% dari total penduduk. Bandingkan dengan Singapura yang mencapai 8,76%. Sedangkan Malaysia dan Thailand sudah di atas 4,5%. Bahkan di negara maju rata-rata sudah 10-12%.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan, rasio kewirausahaan menjadi prasyarat Indonesia untuk menjadi negara maju pada 2045. KemenKopUKM menargetkan 1 juta wirausahawan baru bisa lahir pada 2024.
“Jadi bukan sekadar infrastruktur, pembangunan SDM, tapi juga kita harus menyiapkan pengusaha-pengusaha yang unggul yang inovatif,” kata Teten beberapa waktu lalu.
Pada 2022, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 2 tentang Pengembangan Kewirausahaan Nasional. Dalam Perpres tersebut, pemerintah menargetkan rasio kewirausahaan sebesar 3,95% pada 2024.
Berdasarkan Global Entrepreneurship Index (GEI), Indonesia masih menempati urutan ke-75 dari 137 negara dengan skor 26. Indeks ini mengukur kemampuan suatu negara menghasilkan wirausahawan. Posisi GEI Indonesia juga masih tertinggal dibanding beberapa negara tetangga di ASEAN.
Sementara dalam laporan Global Entrepreneurship Monitor (GEM), persentase individu dewasa di Indonesia yang terlibat aktivitas wirausaha awal cenderung turun pada periode 2013-2022. Indikator ini mengacu pada total early entrepreneurial activity (TEA).
GEM mengukur tingkat kewirausahaan berdasarkan survei penduduk dewasa yang melibatkan minimal 2000 individu usia 18-64 tahun secara nasional. Pada 2022, nilai TEA Indonesia berada di peringkat 36 dari 49 negara.
Lebih Nyaman Mencari Kerja
Membangun budaya wirausaha di Indonesia memang tidak bisa dilakukan dalam sekejap. Apalagi budaya orang Indonesia selama ini lebih cenderung untuk mencari pekerjaan setelah mengenyam pendidikan, bukan membuat lapangan kerja (wirausaha).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah angkatan kerja pada 2022 sebanyak 143,7 juta orang. Status pekerjaan utama yang terbanyak yaitu sebagai buruh/karyawan/pegawai (37,66%).
Memang tak salah jika seseorang memilih menjadi karyawan atau pegawai. Namun kenyataannya, jumlah lowongan karyawan tidak sebanding dengan jumlah pelamarnya.
Data BPS menunjukkan terdapat 937.176 orang pencari kerja pada 2022. Sedangkan total lowongan kerja yang tersedia tidak menyentuh seperempat dari total pencari kerja.
Jumlah lowongan kerja terdaftar tercatat 59.276 lowongan pada 2022. Jumlah ini pun menurun drastis 88,33% dibandingkan pada 2021. Ketimpangan jumlah pencari kerja dengan lowongan kerja ini turut menyumbang angka pengangguran di Indonesia.
Selain itu, minimnya keterampilan juga menjadi alasan Indonesia sulit mencetak pengusaha. Dalam 100 individu berusia 15 tahun, Indonesia hanya memiliki 0,5 individu yang mempunyai keterampilan yang tinggi, seperti dikutip dari riset SMERU.
Hal ini jauh lebih rendah dari Thailand yang memiliki 9,4 individu dan Korea Selatan yang memiliki 18,2 individu. Salah satu penyebabnya adalah kurikulum pendidikan di Indonesia yang selama ini berfokus pada keterampilan teknis.
Metode belajar yang belum berbasis pada Science, Technology, Engineering, Arts dan Mathematics (STEAM) dan problem based learning. Akibatnya, para pelajar tidak dibiasakan untuk berpikir kritis, analitis, serta memecahkan masalah.
Masalah lain sulitnya pengusaha berkembang adalah rendahnya kepercayaan diri anak muda di Indonesia dalam berwirausaha.
Studi yang tertuang dalam artikel Nascent entrepreneurs of millennial generations in the emerging market of Indonesia menunjukkan wirausahawan Indonesia, terutama milenial, kurang percaya diri terhadap kemampuan sendiri. Kondisi ini membuat mereka sulit menjalani keputusan bisnis.
Mereka juga cenderung menghindari perilaku berisiko, menjauhi ketidakpastian, dan tidak terbuka pada hal-hal baru. Ketergantungan terhadap atasan pun membuat generasi milenial berupaya untuk menyenangkan bosnya, demi menjaga posisi ekonomi sosial mereka. Kecenderungan ini kerap bertabrakan dengan unsur kemandirian yang merupakan aspek penting kewirausahaan.
Editor: Aria W. Yudhistira