Advertisement
Analisis | Tren ‘Thrifting’ yang Mengancam Industri Tekstil Nasional - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Tren ‘Thrifting’ yang Mengancam Industri Tekstil Nasional

Foto: Joshua Siringo-ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Gelombang PHK di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) meningkat sejak September 2022. Ancaman resesi di sejumlah negara menyebabkan permintaan dari luar negeri menurun. Di dalam negeri, industri tekstil mendapat pesaing dari maraknya pakaian bekas impor (thrifting).
Reza Pahlevi
16 November 2022, 11.05
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) sedang dalam masalah. Puluhan ribu tenaga kerja dilaporkan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Beberapa perusahaan pun dinyatakan tutup. Apa yang terjadi?

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, jumlah tenaga kerja di sektor ini memang sedang menurun. Ini terlihat dari data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2022. 

“Pada subsektor industri tekstil terjadi penurunan tenaga kerja dari Agustus 2021 sebanyak 1,13 juta orang menjadi 1,08 juta orang pada Agustus 2022,” kata Kepala BPS Margo Yuwono dalam konferensi pers virtual, Senin 7 November 2022.

Ini artinya terdapat sekitar 50 ribu tenaga kerja kehilangan pekerjaan. Angkanya kemungkinan bertambah, mengingat kabar gelombang PHK di industri tekstil mulai merebak pada September 2022. 

Kinerja Ekspor Meningkat

Berkurangnya jumlah tenaga kerja industri TPT sejalan dengan laju pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) kuartalan (quarter on quarter/ qoq) yang mengalami kontraksi pada kuartal III-2022. 

Kendati jika dilihat secara tahunan (year on year/ yoy) PDB sektor TPT masih di level positif. Walau angkanya menurun dibandingkan kuartal sebelumnya. 

Laju PDB tersebut juga terlihat dari kinerja ekspor yang masih menunjukkan pertumbuhan pada periode Januari-September 2022. Nilai ekspor kelompok pakaian dan aksesorisnya (rajutan), pakaian dan aksesorisnya (bukan rajutan), dan alas kaki mengalami kenaikan tiga digit.

Hal ini yang membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani menduga gelombang PHK akibat relokasi pabrik. Dari daerah dengan upah relatif tinggi ke yang lebih rendah, seperti dari Jawa Barat ke Jawa Tengah. 

“Sehingga ini mungkin terlihat PHK di satu daerah, tapi mungkin muncul kesempatan kerja di daerah yang lain,” katanya dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), pada 3 November 2022.

Persoalannya, data-data yang tersedia hanya sampai akhir September 2022. Alhasil, tidak dapat menjelaskan fenomena PHK sepenuhnya. 

Menurut Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmadja, ancaman resesi terhadap ekspor mengalami peningkatan pada Oktober 2022. 

Pada periode itu, pengapalan barang mengalami penundaan. Kondisi ini membuat pemesanan garmen Indonesia turun sejak awal kuartal III-2022. 

“Industri juga tidak maksimal karena jam kerja rata-rata yang sebelumnya 7 hari berkurang jadi 5 hari seminggu,” katanya dikutip dari Katadata.co.id, 26 Oktober 2022.

Bersaing dengan Baju Bekas Impor

Selain ancaman resesi, industri tekstil juga mesti bersaing dengan produk impor di pasar domestik. Wakil Ketua Umum API Anne Patricia Sutanto meminta pemerintah segera menghentikan impor baju bekas ilegal.

“Peraturannya sudah ada. Hanya memang kepastian penegakan hukumnya yang kami inginkan dari pemerintah,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR, pada 8 November 2022.

Kekhawatiran industri terhadap impor baju ilegal ini beralasan. Mengutip data ekspor-impor BPS, nilai impor baju bekas meroket 607,6% (yoy) pada Januari-September 2022. 

Besarnya nilai impor baju bekas (thrifting) ini bahkan mengalahkan nilai impor pakaian dan aksesorisnya (rajutan) serta pakaian dan aksesorisnya (non-rajutan). Nilai impor kedua produk itu malah mengalami penurunan.

Salah satu dugaan ada praktik dumping di tengah membanjirnya pakaian thrifting. Pakaian yang tidak laku dijual di negara asal kemudian diekspor ke Indonesia dengan harga yang lebih rendah.

Asosiasi menganggap baju bekas impor ini merusak pasar pakaian domestik. Penyebabnya karena harga baju bekas impor lebih murah dari produk lokal. Ini juga bukan kali pertama asosiasi meminta pemerintah membatasi impor baju bekas.

Anne menjelaskan, penindakan terhadap pelaku impor ilegal juga gampang. Pasalnya ada perbedaan yang jelas antara baju bekas domestik atau impor. 

“Ada sistem labeling, sehingga kalau baju bekas impor yang ilegal harusnya labeling-nya tidak pakai label Indonesia. Itu sudah menjadi ketentuan di peraturan Kemendag,” kata Anne.

Editor: Aria W. Yudhistira