Pertanyaan ini bukan sekadar lelucon yang sering kita lihat di media sosial. Data membuktikan: rata-rata masa hidup perempuan memang lebih panjang dari laki-laki. World Population Prospects 2022 mencatat angka harapan hidup perempuan di dunia mencapai 76 tahun, sementara laki-laki 70,8 tahun pada 2023.
Our World in Data mencatat hal ini terjadi baik di negara-negara maju dan berkembang, setidaknya dalam dua abad terakhir. Di Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021, angka harapan hidup perempuan 73,6 tahun sedangkan lawan jenisnya 3,9 tahun lebih pendek.
Perempuan juga memiliki usia lebih panjang apabila dalam keadaan sehat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis indeks health life expectancy (HALE Index) atau usia yang diharapkan bisa dicapai manusia dalam kondisi sehat tanpa penyakit berat atau cedera fatal.
Di Indonesia, lelaki bisa merasakan hidup sehat selama 61,9 tahun, sedangkan perempuan menikmati 63,8 tahun. Pada usia 60 tahun, perempuan dapat menikmati 14 tahun hidup sehat, sementara laki-laki 12,7 tahun.
Hasil Sensus Penduduk 2020 pun menunjukkan mulai usia 45 tahun ke atas proporsi populasi perempuan cenderung lebih tinggi. Berkebalikan dibandingkan rentang usia di bawah 45 tahun yang lebih banyak laki-laki. (Baca: Siapkah Indonesia Hadapi Ancaman Penduduk Tua?)
Mengapa Perempuan Panjang Umur?
Sejumlah penelitian telah menjelaskan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kondisi itu. Namun belum menjawab seberapa besar pengaruh setiap faktor terhadap umur panjang perempuan. Secara biologis, perempuan punya “keunggulan” dari dua kromosom X dan hormon estrogen dalam tubuhnya.
S.N. Austad dalam “Why women live longer than men: Sex differences in longevity” (2006) di jurnal Gender Medicine menjelaskan, dua kromosom X membuat sel tubuh punya pengganti jika salah satunya rusak. Sedangkan, laki-laki dengan kromosom XY tidak memiliki cadangan tersebut.
Kemudian, menurut Eskes dan Haanen dalam “Why do women live longer than men?” (2007) yang dimuat di European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology, hormon estrogen juga mendorong produksi imun. Ini yang mampu melindungi tubuh dari infeksi penyakit, berkebalikan dengan hormon pada tubuh laki-laki.
Barangkali ini jawaban mengapa selama pandemi Covid-19, perempuan lebih banyak yang berhasil sembuh. Sementara kasus kematian lebih banyak menimpa laki-laki, meskipun perempuan lebih banyak yang terpapar Covid-19.
Perilaku dan Gaya Hidup Laki-laki Lebih Rentan
Dilihat dari perilakunya, laki-laki lebih banyak melakukan kegiatan yang memiliki risiko bahaya atau kecelakaan. Misalnya, saat bekerja. Hal ini mungkin yang cukup sering dijadikan “meme” di media sosial.
Berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Agustus 2022, rasio penduduk laki-laki bekerja terhadap total penduduk laki-laki usia kerja (employment to population ratio) mencapai 78,9%. Angkanya lebih besar dari rata-rata nasional yang sebesar 64,6%. Sementara rasio untuk perempuan hanya 50,3%.
Para pekerja seringkali rentan mengalami kecelakaan saat bekerja. BPJS Ketenagakerjaan mencatat sebanyak 153 ribu kasus kecelakaan kerja—di lingkungan kerja, kecelakaan lalu lintas, maupun di luar lingkungan kerja—terjadi sepanjang 2020, seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Sebanyak 74,7% dari total kasus kecelakaan kerja terjadi pada laki-laki dan 81,2% dari total kasus terjadi pada pekerja usia produktif. Kemudian, 3% dari total kasus tersebut meninggal dunia dan 6% mengalami cacat, meningkat dari tahun sebelumnya yang masing-masing sebesar 2% dan 3%.
Tak hanya itu, laki-laki juga diklaim memiliki gaya hidup yang lebih tidak sehat ketimbang perempuan. Misalnya, merokok dan minum alkohol yang dapat menimbulkan risiko terkena penyakit kardiovaskular.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 dari Kementerian Kesehatan menunjukkan, proporsi laki-laki yang merokok setiap hari sebesar 47,3%. Sedangkan, hanya 1,2% perempuan yang merokok setiap hari, bahkan sebanyak 96,8% bukan perokok.
Konsumsi minuman beralkohol pada laki-laki pun lebih tinggi. Proporsinya sebesar 6,1% jauh di atas persentase perempuan yang mengonsumsi alkohol yang cuma 0,4%.
Meski begitu, proporsi perempuan yang makan makanan berisiko lebih besar. Ini yang membuat mereka juga bisa terpapar penyakit kardiovaskular. Misalnya, sebanyak 30,5% perempuan terbiasa mengonsumsi makanan asin lebih dari satu kali per hari, sementara angkanya untuk laki-laki sebesar 28,9%.
Lalu, sebanyak 42,8% perempuan juga memiliki kebiasaan konsumsi makanan berkolestrol dan berlemak lebih dari satu kali per hari. Proporsi tersebut lebih besar dari laki-laki yang sebesar 40,7%.
Akibatnya, prevalensi perempuan dewasa yang menderita obesitas mencapai 29,3%. Angka ini dua kali lipat dari prevalensi laki-laki yang sebesar 14,5%.
Karena itu, prevalensi perempuan dan laki-laki di Indonesia yang terkena penyakit kardiovaskular pun tidak jauh berbeda. Angkanya pada penyakit jantung sebesar 1,6% untuk perempuan dan 1,3% untuk laki-laki. Sedangkan pada penyakit stroke, prevalensi laki-laki sedikit lebih tinggi dari perempuan, yakni masing-masing sebesar 11 per mil dan 10,9 per mil.
Hanya prevalensi hipertensi berdasarkan diagnosis dokter yang menunjukkan perbedaan signifikan. Angkanya pada perempuan mencapai 10,95%, sementara laki-laki sebesar 5,74%.
Namun, profesor Johns Hopkins University Patricia Davidson, dalam tulisannya di The Conversation (2017), mengatakan perempuan umumnya 10 tahun lebih tua ketika pertama kali mengalami atau didiagnosis punya kelainan jantung. Salah satunya karena gejala yang dialami tidak lazim mengarah ke penyakit jantung.
“Maka besar kemungkinan mereka sudah punya kondisi lain, seperti arthritis dan diabetes, yang biasanya membuat mereka mendapatkan hasil akhir yang lebih buruk,” tulisnya.
Jadi, meski perempuan tercatat bisa hidup lebih lama ketimbang laki-laki, mereka belum tentu menjalaninya dalam kondisi yang lebih sehat.
Editor: Aria W. Yudhistira