Advertisement
Analisis | Ekspor CPO ke Uni Eropa Makin Ketat, Bagaimana Nasib Indonesia? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Ekspor CPO ke Uni Eropa Makin Ketat, Bagaimana Nasib Indonesia?

Foto: Joshua Siringo ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Uni Eropa baru saja menyetujui undang-undang produk deforestasi. Kebijakan ini dapat berdampak terhadap komoditas minyak sawit (CPO) Indonesia. Meski bukan tujuan terbesar ekspor CPO, Eropa termasuk pasar yang penting CPO Indonesia.
Reza Pahlevi
26 Januari 2023, 11.29

Uni Eropa (UE) baru saja menerbitkan undang-undang (UU) produk bebas deforestasi. Beberapa komoditas yang disasar antara lain minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO), kakao, kopi, kedelai, ternak, kayu, karet, dan lain-lain. Komoditas-komoditas ini dinilai sebagai penyebab pembabatan hutan dunia.

Gara-gara UU ini, perusahaan-perusahaan yang ingin memasukkan produknya ke UE harus melakukan uji kelayakan atau due diligence. Uji kelayakan dilakukan untuk menjamin produk-produk tersebut tidak melewati proses yang berbahaya bagi hutan.

Indonesia sebagai eksportir minyak sawit terbesar di dunia akan terdampak dengan adanya aturan ini. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menganggap aturan ini diskriminatif dan menghambat ekspor komoditas Indonesia.

Dalam pertemuan antara ASEAN dan Uni Eropa, Presiden Joko Widodo pun mengingatkan kedua pihak soal pentingnya kemitraan yang didasarkan pada kesetaraan. “Tidak boleh ada pemaksaan. Tidak boleh lagi ada pihak yang selalu mendikte dan beranggapan ‘my standard is better than yours’,” katanya, pertengahan Desember 2022.

Lantas apakah kebijakan UE tersebut bakal berdampak besar terhadap industri sawit Indonesia?

Bukan Konsumen Terbesar CPO Indonesia

Meski bukan yang terbesar, UE tetap menjadi pasar penting produk CPO Indonesia. UE adalah konsumen CPO Indonesia terbesar keempat. Selama periode Januari-Oktober 2022, nilai ekspor ke-27 negara yang tergabung dalam kawasan ekonomi dan politik tersebut mencakup 8,76% dari total ekspor CPO Indonesia.

Spanyol adalah pasar terbesar CPO Indonesia di kawasan UE. Negara itu mengimpor sebesar 471 ribu ton pada periode yang sama. Ini setara 2,39% dari total nilai ekspor minyak kelapa sawit Indonesia. Sementara Italia yang di peringkat kedua sebesar 455 ribu ton dan Belanda sebesar 435,5 ribu ton.

Nilai ekspor ke negara-negara Uni Eropa ini pun terlihat kecil jika dibandingkan dengan India dan Cina, dua konsumen utama CPO Indonesia. India mengimpor CPO senilai total US$4,24 miliar sementara Cina mengimpor US$3,32 miliar.

Dalam UU yang disetujui 6 Desember 2022 lalu, UE mewajibkan adanya uji kelayakan terhadap sawit yang akan masuk ke kawasan tersebut. Uji kelayakan mencakup proses produksi sawit yang tidak membahayakan hutan. 

Meski begitu, aturan tersebut belum merinci bagaimana bentuk uji kelayakannya. Selama ini, industri sawit sebenarnya sudah punya sertifikasi dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang memiliki tujuan serupa. 

Sertifikasi RSPO meliputi produk sawit yang ramah bagi hutan, tidak ada eksploitasi pekerja, dan adil bagi petani kecil. Produk minyak kelapa sawit yang lolos sertifikasi diberi label Certified Sustainable Palm Oil (CSPO).

Jika Uni Eropa mengikuti standar ini, produksi minyak sawit berkelanjutan di Indonesia sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan. Sekitar 19% atau 8,6 juta ton produksi CPO Indonesia telah bersertifikat CSPO. Jumlah ini jauh lebih besar dari kebutuhan CPO Uni Eropa dari Indonesia yang sebesar 2,8 juta ton pada 2021.

Masalahnya, sertifikasi dari RSPO juga tidak benar-benar “bersih”. Penelitian Roberto Cazzolla Gatti dan Alena Valichevskaya (2020) menunjukkan, sertifikasi CSPO ternyata tidak menjamin nol deforestasi. Perusahaan-perusahaan yang memiliki sertifikasi ternyata berkontribusi terhadap hilangnya fauna asli Sumatra dan Kalimantan.

Uni Eropa perlu segera menjelaskan standar apa yang mereka pakai untuk menentukan apakah CPO ramah lingkungan atau tidak. Dengan standar yang sudah ada, produksi sawit bersih Indonesia sudah mencukupi kebutuhan Uni Eropa.

Dampak Larangan CPO

Meski UE melarang impor CPO, efeknya terhadap ekonomi Indonesia dinilai sangat minim. Penelitian Irlan A. Rum dkk. (2022) menemukan tidak ada perubahan berarti pada produk domestik bruto (PDB), ketenagakerjaan, maupun lingkungan Indonesia.

Penelitian tersebut memperhitungkan dampak larangan impor dalam dua skenario, yaitu larangan impor langsung dan larangan impor gabungan. Larangan impor langsung hanya melarang produk CPO sementara larangan impor gabungan juga memperhitungkan jika ada larangan untuk produk yang memakai CPO Indonesia.

Jika diberlakukan, efek larangan impor terhadap PDB di Indonesia sangat kecil. PDB Indonesia diperkirakan hanya turun 0,2% dalam skenario larangan impor langsung. Dalam skenario gabungan, PDB hanya diperkirakan turun 0,26%.

Meski minim secara nasional, penurunan produk domestik regional bruto (PDRB) cukup terasa di provinsi-provinsi penghasil sawit, terutama Riau. Provinsi itu diperkirakan mengalami penurunan PDB sebesar 1,63% dalam skenario langsung dan 2% dalam skenario gabungan.

Indonesia juga tidak perlu begitu khawatir dengan efek larangan impor terhadap tenaga kerja. Simulasi penelitian yang sama menunjukkan efeknya secara nasional terhadap persentase penduduk bekerja hanya turun 0,12% dalam skenario langsung dan turun 0,16% dalam skenario gabungan.

Provinsi-provinsi penghasil sawit menjadi yang paling terdampak meski minim. Persentase penduduk bekerja di Riau dapat turun 1,68% dalam skenario langsung dan turun 2,08% dalam skenario gabungan.

Hal yang sama juga berlaku untuk Sumatera Utara, meski tidak sedalam Riau. Penurunan persentase penduduk bekerja di Sumatera Utara dapat mencapai 0,57% dalam skenario langsung dan 0,72% dalam skenario gabungan.

Editor: Aria W. Yudhistira