Advertisement
Advertisement
Analisis | Fenomena Pasangan tak Ingin Punya Anak, Apa Untung Ruginya? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Fenomena Pasangan tak Ingin Punya Anak, Apa Untung Ruginya?

Foto: Joshua Siringo ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Penilaian influencer Gita Savitri perihal tidak ingin memiliki anak atau childfree memantik kehebohan. Benarkah tak punya anak bisa memberi waktu lebih untuk merawat diri dan hidupnya bakal lebih bahagia?
Reza Pahlevi
20 Februari 2023, 07.35
Button AI Summarize

Pernyataan pemengaruh media sosial Gita Savitri menjadi perbincangan di media sosial. Dipuji lantaran awet muda di Instagram, Gita menyebut keputusannya tidak memiliki anak alias childfree adalah sebab di balik wajahnya yang terlihat masih muda.

Not having kids is indeed natural anti aging (Tidak punya anak memang seperti anti penuaan alami),” ujar perempuan berusia 30 tahun itu saat membalas satu komentar di Instagram.

Menurutnya, perempuan yang tidak mempunyai anak memiliki waktu yang lebih banyak untuk memenuhi kebutuhannya. Misalnya dapat tidur 8 jam sehari dan tidak stres karena mendengarkan tangisan anak. 

Dalam tulisannya Gita juga menyebutkan perempuan yang tidak memiliki anak akan mempunyai uang lebih. Nantinya uang tersebut dapat dipakai untuk perawatan wajah, seperti suntik botox. 

Pernyataan childfree tersebut lantas menimbulkan pro-kontra. Wakil Presiden Ma’ruf Amin turut berpendapat bahwa memiliki keturunan penting agar manusia dapat berkembang dan terus mengelola bumi sampai kiamat. 

“Kalau nanti dia tidak punya anak, lantas dunia ini terus siapa yang melanjutkan?” katanya saat kunjungan kerja ke Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.

Tak Ada Anak, Sedikit Rezeki?

Pasangan yang tidak ingin memiliki anak bukan isu baru. Hal ini sudah banyak terjadi di sejumlah negara, terutama negara maju. Beragam alasan yang mendorong pasangan memutuskan childfree, mulai dari mahalnya biaya membesarkan anak hingga alasan tingkat populasi dunia yang tinggi. 

Namun tingkat pertumbuhan populasi dunia justru cenderung menurun. Hal ini bisa dilihat dari rata-rata tingkat fertilitas di dunia. Tingkat fertilitas adalah rata-rata jumlah kelahiran per 1.000 perempuan berumur subur dalam sebuah populasi.

Pada 1960, rata-rata keluarga dunia dapat memiliki 4,7 anak. Pada 2020, rata-rata keluarga di dunia hanya memiliki 2,3 anak. Penurunan terbesar dapat ditemukan di negara-negara maju. Salah satu yang terendah adalah Korea Selatan. Negara ini memiliki tingkat kelahiran hanya 0,84 anak.

 Meski tidak separah Korea Selatan, Indonesia juga mengalami penurunan tingkat fertilitas ini sejak 1960. Pada tahun itu, rata-rata keluarga Indonesia memiliki 5,5 anak, kemudian menjadi 2,2 anak pada 2022.

Meski belum terjadi di Indonesia, singgungan Ma’ruf Amin soal siapa yang melanjutkan dunia jika tidak ada anak telah menjadi kekhawatiran banyak negara. Negara-negara ini dapat menghadapi krisis demografi akibat rendahnya tingkat fertilitas.

Setiap negara perlu mempertahankan tingkat fertilitas di level 2,1 anak untuk menjaga pertumbuhan penduduk yang stabil, tanpa memperhitungkan faktor imigrasi. Negara-negara dengan tingkat fertilitas di bawah level tersebut terancam mengalami penurunan populasi, termasuk Korea Selatan yang tingkat fertilitasnya di bawah batas ideal.

Selain Korea Selatan, Jepang adalah negara yang tingkat fertilitasnya konsisten di bawah 2,1 sejak 1960. Sejak 2010, negara ini telah mengalami penurunan populasi dan menghadapi problem demografi yakni jumlah penduduk tua yang terus meningkat. 

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira