Pernyataan pemengaruh media sosial Gita Savitri menjadi perbincangan di media sosial. Dipuji lantaran awet muda di Instagram, Gita menyebut keputusannya tidak memiliki anak alias childfree adalah sebab di balik wajahnya yang terlihat masih muda.
“Not having kids is indeed natural anti aging (Tidak punya anak memang seperti anti penuaan alami),” ujar perempuan berusia 30 tahun itu saat membalas satu komentar di Instagram.
Menurutnya, perempuan yang tidak mempunyai anak memiliki waktu yang lebih banyak untuk memenuhi kebutuhannya. Misalnya dapat tidur 8 jam sehari dan tidak stres karena mendengarkan tangisan anak.
Dalam tulisannya Gita juga menyebutkan perempuan yang tidak memiliki anak akan mempunyai uang lebih. Nantinya uang tersebut dapat dipakai untuk perawatan wajah, seperti suntik botox.
Pernyataan childfree tersebut lantas menimbulkan pro-kontra. Wakil Presiden Ma’ruf Amin turut berpendapat bahwa memiliki keturunan penting agar manusia dapat berkembang dan terus mengelola bumi sampai kiamat.
“Kalau nanti dia tidak punya anak, lantas dunia ini terus siapa yang melanjutkan?” katanya saat kunjungan kerja ke Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
Tak Ada Anak, Sedikit Rezeki?
Pasangan yang tidak ingin memiliki anak bukan isu baru. Hal ini sudah banyak terjadi di sejumlah negara, terutama negara maju. Beragam alasan yang mendorong pasangan memutuskan childfree, mulai dari mahalnya biaya membesarkan anak hingga alasan tingkat populasi dunia yang tinggi.
Namun tingkat pertumbuhan populasi dunia justru cenderung menurun. Hal ini bisa dilihat dari rata-rata tingkat fertilitas di dunia. Tingkat fertilitas adalah rata-rata jumlah kelahiran per 1.000 perempuan berumur subur dalam sebuah populasi.
Pada 1960, rata-rata keluarga dunia dapat memiliki 4,7 anak. Pada 2020, rata-rata keluarga di dunia hanya memiliki 2,3 anak. Penurunan terbesar dapat ditemukan di negara-negara maju. Salah satu yang terendah adalah Korea Selatan. Negara ini memiliki tingkat kelahiran hanya 0,84 anak.
Meski tidak separah Korea Selatan, Indonesia juga mengalami penurunan tingkat fertilitas ini sejak 1960. Pada tahun itu, rata-rata keluarga Indonesia memiliki 5,5 anak, kemudian menjadi 2,2 anak pada 2022.
Meski belum terjadi di Indonesia, singgungan Ma’ruf Amin soal siapa yang melanjutkan dunia jika tidak ada anak telah menjadi kekhawatiran banyak negara. Negara-negara ini dapat menghadapi krisis demografi akibat rendahnya tingkat fertilitas.
Setiap negara perlu mempertahankan tingkat fertilitas di level 2,1 anak untuk menjaga pertumbuhan penduduk yang stabil, tanpa memperhitungkan faktor imigrasi. Negara-negara dengan tingkat fertilitas di bawah level tersebut terancam mengalami penurunan populasi, termasuk Korea Selatan yang tingkat fertilitasnya di bawah batas ideal.
Selain Korea Selatan, Jepang adalah negara yang tingkat fertilitasnya konsisten di bawah 2,1 sejak 1960. Sejak 2010, negara ini telah mengalami penurunan populasi dan menghadapi problem demografi yakni jumlah penduduk tua yang terus meningkat.
Kebijakan satu anak yang diberlakukan di Cina dari 1980 dan 2015 juga menunjukkan efeknya pada tahun lalu. Populasi Cina mengalami penurunan untuk pertama kalinya dalam 60 tahun, menurut Biro Statistik Nasional Cina.
Ekonom dari Stanford University, Charles Jones, menyebutkan pertumbuhan populasi yang negatif dapat berbahaya bagi pertumbuhan ekonomi. Dalam penelitiannya, Charles menemukan standar hidup akan berkurang seiring menghilangnya populasi.
Dia berpendapat pertumbuhan ekonomi adalah hasil dari inovasi baru. Berkurangnya jumlah penduduk berarti berkurang juga orang-orang yang meneliti demi inovasi baru. Berkurangnya inovasi inilah yang memicu mandeknya pertumbuhan ekonomi di masa depan jika populasi tidak tumbuh dalam modelnya.
Di Indonesia, komponen terbesar penyumbang pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi penduduk. Pada 2022, kontribusinya mencapai 51,9% terhadap produk domestik bruto (PDB). Artinya semakin banyak populasi yang membelanjakan uangnya untuk konsumsi maka roda perekonomian makin bergerak kencang.
Tanpa Anak Lebih Bahagia?
Penelitian yang dilakukan Princeton dan Stony Brook University di Amerika Serikat menemukan tidak ada korelasi antara memiliki anak dengan kebahagiaan seseorang. Punya anak atau tidak bukan penentu seseorang untuk bahagia.
Penelitian Princeton-Stone Brook ini menggunakan data hasil survei Indeks Kesejahteraan Gallup-Healthways. Data ini melibatkan 1,77 juta responden Amerika Serikat dengan memperhitungkan kebahagiaan rumah tangga tanpa anak dan rumah tangga dengan setidaknya satu anak.
Perhitungan kebahagiaan dalam penelitian ini menggunakan tangga Cantril. Nilai kebahagiaan memiliki rentang 0 sampai 10, dengan 0 berarti kualitas hidup terburuk dan 10 berarti kualitas hidup terbaik.
Hasilnya adalah nilai hidup tanpa anak hanya 0,025 poin lebih bahagia dari mereka yang memiliki anak pada keseluruhan populasi. Jika hanya memperhitungkan usia 34-46 tahun, mereka yang hidup dengan anak justru 0,329 poin lebih bahagia dibandingkan dengan hidup tanpa anak.
Peneliti Angus Deaton dan Arthur A. Stone menjelaskan, lebih tingginya tingkat kebahagiaan pada kelompok yang memiliki anak karena tingkat pendapatan, pendidikan, dan kesehatan yang lebih baik. Jika faktor-faktor tersebut tidak diperhitungkan, kebahagiaan antara memiliki atau tidak memiliki anak tidak jauh berbeda.
Perbedaan cukup signifikan baru terlihat jika melibatkan perasaan responden sehari sebelum survei dilakukan. Perasaan ini meliputi bahagia, tersenyum, kesenangan, sedih, marah, khawatir, stres, dan nyeri fisik.
Di kelompok semua umur, kelompok dengan anak lebih banyak merasakan marah, khawatir, dan stres. Meski begitu, nilai ini berbanding terbalik jika dipersempit ke kelompok umur 34-46. Hidup dengan anak justru memberi nilai lebih tinggi untuk bahagia, tersenyum, dan kesenangan.
Peneliti menyimpulkan antara memiliki anak dan tanpa anak merupakan kelompok orang yang berbeda. Seperti halnya selera, pilihan sadar pasangan untuk mempunyai anak atau tidak seharusnya tidak serta merta menentukan kebahagiaan mereka.
“Pasangan yang memilih tidak punya anak bukan orang tua gagal. Salah juga jika kita berpikir hanya karena seorang ingin punya anak, mereka pasti lebih bahagia dari pasangan tanpa anak,” tulis Deaton dan Stone.
Editor: Aria W. Yudhistira