Advertisement
Analisis | Rapor Merah Korupsi Partai Politik Berkuasa di Indonesia - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Rapor Merah Korupsi Partai Politik Berkuasa di Indonesia

Foto: Joshua Siringo ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Kasus korupsi yang melibatkan politisi dari partai politik yang sedang berkuasa marak terjadi. Ini membuktikan adagium bahwa kekuasaan cenderung korup. Politisi Partai Golkar dan Demokrat tercatat paling banyak terjerat kasus korupsi pada periode pemerintahan SBY. Lalu bagaimana dengan PDI Perjuangan yang sedang berkuasa saat ini?
Andrea Lidwina
3 April 2023, 10.37
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Menteri dan anggota DPR terjerat kasus korupsi bukan berita baru di Indonesia. Di setiap periode pemerintahan, selalu ada pejabat negara yang terjerat operasi tangkap tangan (OTT) atau ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.

Berdasarkan catatan Katadata.co.id, ada delapan menteri terafiliasi partai politik dan 44 anggota DPR yang diputus bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam 20 tahun terakhir. Rinciannya, seorang menteri dan 9 anggota DPR pada 2004-2009, lalu tiga menteri dan 10 anggota DPR pada 2009-2014.

Sebanyak dua menteri dan 22 anggota DPR juga ditetapkan sebagai tersangka sepanjang 2014-2019. Sementara, jumlahnya tercatat turun signifikan pada periode yang berjalan saat ini. Dua menteri dan tiga anggota DPR jadi tersangka korupsi sejak 2019 hingga Maret 2023.

Mayoritas kasus korupsi tersebut berupa menerima suap dan gratifikasi atau menyalahgunakan jabatan dan anggaran. Beberapa kasus pun dilakukan secara berjamaah, baik antaranggota DPR, antara menteri dan anggota DPR, maupun dengan pihak dari lembaga atau perusahaan lain.

Jika dilihat berdasarkan partai politik, Partai Golongan Karya (Golkar) menyumbang angka terbesar 13 orang. Sebanyak 10 orang di antaranya ditetapkan sebagai tersangka pada pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), termasuk kasus korupsi pengadaan e-KTP yang menjerat mantan Ketua DPR Setya Novanto.

Kemudian, disusul Partai Demokrat dengan 11 orang. Sebanyak sembilan orang dari jumlah itu menjadi tersangka pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Misalnya, kasus korupsi pembangunan sarana-prasarana olahraga di Hambalang dan pembangunan Wisma Atlet di Palembang.

Semakin Berkuasa, Banyak Korupsi

Menteri dan anggota DPR dari Golkar dan Demokrat paling banyak ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi ketika kedua partai itu mendominasi kursi eksekutif dan legislatif di Indonesia.

Demokrat menjadi partai pemenang Pemilu 2009 dan menempatkan SBY sebagai presiden. SBY lantas menunjuk enam menteri dari Demokrat untuk mengisi kabinetnya. Jumlah itu paling banyak ketimbang partai politik lain.

Tidak hanya itu, sebanyak 148 orang dari Demokrat melenggang ke DPR, atau sekitar 26,4% dari total kursi di parlemen pada periode 2009-2014. Partai-partai politik yang berkoalisi dengan Demokrat pun mendapat 49,1% kursi di DPR.

Namun, pada periode tersebut, dua menteri dan enam anggota DPR dari Demokrat menjadi tersangka kasus korupsi.

Selanjutnya, meski tidak menjadi partai pemenang Pemilu 2014, Golkar memiliki 91 kursi atau setara 16,3% dari total kursi di DPR pada periode 2014-2019. Partai beringin pun akhirnya bergabung dengan koalisi pemerintah yang telah menguasai 52,6% kursi di parlemen.

Setelah masuk koalisi tersebut, Golkar juga mendapat jatah tiga menteri di kabinet Jokowi. Jumlah itu sama banyaknya dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan menjadi nomor dua terbanyak di antara partai politik lainnya.

Pada periode yang sama, seorang menteri dan tujuh anggota DPR dari Golkar ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus korupsi.

Pola maraknya korupsi ketika memegang kekuasaan yang terjadi di Demokrat dan Golkar mengamini pernyataan sejarawan Inggris John Dalberg-Acton, bahwa kekuasaan cenderung korup. Artinya, orang yang memiliki kekuasaan bisa memanfaatkan kekuasaan itu untuk menguntungkan dirinya sendiri.

Hal serupa juga dikatakan profesor emeritus di University of Wollongong Brian Martin, dalam bukunya Information Liberation (1998). Menurutnya, para politisi awalnya ingin mengubah sistem, membantu masyarakat miskin, dan membasmi korupsi.

Namun, ketika mereka mendapatkan posisi, jabatan dan kekuasaan, baik di pemerintahan maupun di korporasi, “slogan lama itu hanya tinggal kenangan,” tulis Martin.

Prioritas para politisi pun berubah. Bukan lagi membela masyarakat, melainkan memberi penghargaan dan mengikuti pihak yang berkuasa. Sebab, mereka juga ingin menambah kekuasaan dan kekayaan diri mereka sendiri.

Karena itu, dominasi Demokrat atau Golkar dalam koalisi pemerintah pada periodenya masing-masing membuat mereka punya kekuatan, pengaruh, dan kesempatan lebih besar dibandingkan partai politik lain. Sejumlah anggota kemudian menggunakannya untuk memperkaya diri mereka melalui korupsi.

Permainan Kekuasaan hingga Pelemahan KPK

Lalu, bagaimana dengan PDI Perjuangan yang kini jadi partai penguasa lembaga eksekutif dan legislatif di Indonesia?

Partai banteng moncong putih menempatkan Jokowi sebagai presiden pada periode 2019-2024. Dia memilih lima anggota PDI Perjuangan untuk menduduki posisi menteri di kabinetnya. Jumlah itu tentu paling banyak dibandingkan partai politik lain.

PDI Perjuangan juga berhasil memboyong 128 kadernya ke DPR atau setara 22,3% total kursi parlemen pada periode yang sama. Persentase itu belum ditambah dengan partai-partai koalisinya yang punya 59,7% kursi di parlemen.

Namun, hanya satu menteri dari PDI Perjuangan yang menjadi tersangka kasus korupsi sepanjang 2019 hingga Maret 2023. Pola relasi kekuasaan dan korupsi di partai Megawati ini pun berbeda dengan yang terjadi di Golkar dan Demokrat pada periode-periode sebelumnya.

Selain PDI Perjuangan, jumlah anggota DPR dari partai politik lain yang menjadi tersangka korupsi pun tercatat menurun drastis pada periode ini. Namun, ini bukan semata-mata prestasi para wakil rakyat. Sebab, parlemen yang mayoritas diisi koalisi pemerintah memudahkan pembahasan dan pengesahan sejumlah agenda, sesuai dengan kepentingan kelompok tersebut, termasuk soal pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menjelang akhir periode pertamanya, Jokowi dan DPR sepakat mengesahkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, hanya dalam kurang lebih dua pekan. Dalam aturan baru itu, KPK ditetapkan masuk ke rumpun eksekutif. Komisi ini bertanggung jawab pada presiden melalui dewan pengawas, yang juga dipilih oleh Jokowi sendiri.

Menurut pakar hukum tata negara Denny Indrayana, perubahan ini menjadi pintu masuk kontrol dari lembaga eksekutif terhadap KPK, seperti dilansir dari situs Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada 2020. Praktik semacam ini pun tidak pernah ditemukan pada penegakan hukum di negara lain.

Labib Muttaqin dan Muhammad Edy Susanto (2018) dalam artikel “Mengkaji Serangan Balik Koruptor Terhadap KPK dan Strategi Menghadapinya” di jurnal Integritas juga mengatakan, keberadaan dewan pengawas di tubuh komisi antirasuah hanya akan “melemahkan independensi KPK.”

Tidak hanya itu, sebagai bagian dari lembaga eksekutif, DPR pun dapat menggunakan hak angket untuk melakukan penyelidikan pada KPK, hanya untuk memenuhi kepentingan para anggota dewan.

Hal ini terjadi ketika DPR mengajukan hak angket terhadap KPK pada 2017, bahkan sebelum KPK jadi bagian dari eksekutif. Hak angket itu bertujuan meminta KPK membuka rekaman pemeriksaan anggota DPR fraksi Hanura Miryam S. Haryani terkait kasus korupsi pengadaan e-KTP.

Melansir Kompas.com, Komisi III DPR ingin mengetahui nama-nama anggota komisinya yang disebut Miryam telah menekan dirinya hingga ia mencabut berita acara pemeriksaan (BAP).

Lebih lanjut, Labib dan Edy berpendapat revisi UU KPK termasuk bentuk serangan balik koruptor pada KPK. Sebab, revisi itu kian menggerogoti kewenangan KPK untuk mengusut kasus korupsi di Indonesia.

Editor: Aria W. Yudhistira