Advertisement
Advertisement
Analisis | Mengapa Orang Miskin Memilih Banyak Makan Nasi? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Mengapa Orang Miskin Memilih Banyak Makan Nasi?

Foto: Joshua Siringo ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Pernyataan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat bahwa salah satu ciri orang miskin adalah lebih banyak makan nasi daripada protein, memicu kontroversi. Data memang membuktikan, penduduk dari kelompok pengeluaran terbawah lebih banyak mengonsumsi karbohidrat. Mengapa?
Vika Azkiya Dihni
5 September 2023, 07.53
Button AI Summarize

Belum lama ini, Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat membuat pernyataan tentang ciri-ciri penduduk miskin. Menurutnya, orang miskin akan memilih makan nasi dengan porsi banyak.

“Kalau nasinya ambil banyak, itu orang miskin. Tapi kalau ambil yang banyak protein, itu orang kaya,” kata Viktor saat menghadiri acara peringatan hari ulang tahun yang ke-2 Badan Pangan Nasional (Bapanas) di Kupang, NTT, Sabtu 12 Agustus 2023.

Menurut dia, pemerintah perlu mendorong kebutuhan pangan masyarakat yang banyak protein bukan karbohidrat. Jika masih terjadi keributan terkait beras, artinya masyarakat sedang miskin.

Di Indonesia, beras merupakan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat. Selain diolah menjadi nasi, makanan berkarbohidrat tinggi ini juga terbiasa diolah dengan cara lain, seperti lontong maupun arem-arem yang dibalut dengan daun pisang. Bahkan ada anggapan bahwa “belum kenyang kalau belum makan nasi.” 

Pola konsumsi makanan memang berkaitan erat dengan kemampuan ekonomi masyarakat seperti disampaikan Viktor.  

Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2022 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat perbedaan antara masyarakat yang lebih sejahtera dan kurang sejahtera dalam mengonsumsi makanan. Masyarakat yang berada pada kelompok pengeluaran tertinggi cenderung mengonsumsi karbohidrat lebih sedikit.

Pada komoditas padi-padian misalnya, porsi pengeluaran per kapita di kelompok pengeluaran tertinggi (di atas Rp1,5 juta per bulan) hanya 7% dari total pengeluaran makanan. Kelompok padi-padian di antaranya beras, jagung, tepung terigu, serta padi-padian lainnya. 

(Baca: Besar-Kecil Penghasilan Menentukan Belanja Kebutuhan Pokok)

Porsi pengeluaran ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat di kelompok pengeluaran terendah (kurang dari Rp150 ribu per bulan) yang mencapai 34%.

Sebaliknya, masyarakat yang lebih sejahtera mengonsumsi protein lebih banyak. Seperti pada komoditas daging, porsi pengeluaran per kapita pada kelompok pengeluaran tertinggi sebesar 6%. Sedangkan di kelompok pengeluaran terbawah tak sampai 2%.

Jika dilihat berdasarkan data per provinsi, terlihat bahwa provinsi yang lebih miskin lebih banyak mengonsumsi beras. Masyarakat di Nusa Tenggara Timur (NTT) rata-rata mengonsumsi beras paling banyak, yakni 8,68 kilogram (kg). Jumlahnya 1,5 kali lebih banyak dari warga DKI Jakarta. 

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira