DPR Dinilai Terlalu Kebut Bahas Undang-Undang PPP

Image title
12 Mei 2022, 18:16
Sejumlah anggota DPR mengikuti rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (14/4/2022).
ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/foc.
Sejumlah anggota DPR mengikuti rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (14/4/2022).

Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendapatkan sorotan karena dinilai memiliki kepentingan tertentu dalam menyelesaikan pembahasan undang-undang pada masa sidang IV periode 2021-2022.

Hal ini menjadi salah satu evaluasi Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) saat merilis laporan evaluasi kinerja DPR. Salah satu yang dinilai terburu-buru adalah pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP) yang menurut Formappi penyelesaiannya terkesan buru-buru sehingga mereka curiga adanya kepentingan tertentu.  

Menurut Peneliti Senior Formappi, Djadijono, pemerintah sebagai pengusul revisi, mengajukan 362 daftar inventarisasi masalah (DIM) kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR pada 7 April 2022. Seminggu kemudian, pada Rabu (13/4), Baleg DPR langsung menyetujui revisi undang- undang tersebut untuk dibawa ke Rapat Paripurna DPR.

“Keputusan pembahasan tingkat I terhadap revisi Undang-Undang PPP tersebut merupakan langkah DPR dan pemerintah yang sangat ceroboh,” kata Peneliti Senior FORMAPPI, Djadijono, Kamis (12/5).

Djadijono menilai sikap yang terburu-buru terhadap pembahasan UU PPP dilakukan DPR dan pemerintah dalam rangka merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law. Dengan mengubah UU PPP, dia memandang bahwa DPR dan pemerintah tak memahami amar putusan MK tersebut.

“Putusan MK menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat secara formil. Jadi perintah MK bukan untuk merevisi Undang-Undang PPP, tetapi memperbaiki Undang-Undang Cipta Kerja,” jelasnya.

Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 mengabulkan sebagian permohonan Migrant CARE, Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat, Mahkamah Adat Minangkabau, serta Muchtar Said selaku pemohon, terkait Undang-Undang Tentang Cipta Kerja.

Dalam pertimbangannya, Ketua MK, Anwar Usman, menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Oleh sebab itu, UU Cipta Kerja tak memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara bersyarat jika tidak dilakukan perbaikan dalam kurun waktu dua tahun sejak putusan MK dibacakan.

Halaman:
Reporter: Ashri Fadilla
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...