Sri Mulyani: Kondisi Ekonomi dan Sistem Keuangan Masih Terkendali
Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menyatakan kondisi perekonomian dan sistem keuangan di Indonesia pada triwulan III relatif aman meski dinamika ekonomi cukup tinggi. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi potensi tekanan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kondisi masih dalam kendali. Hal ini tercermin dari beberapa indikator yang menopang ekonomi. "Pertumbuhan ekonomi terjaga di atas 5%, inflasi triwulan III rendah dan stabil, cadangan devisa memadai, dan volatilitas nilai tukar terkendali," kata dia dalam Konferensi Pers KSSK di kantornya, Jakarta, Kamis (1/11).
Dari sisi fiskal, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengecil. Bahkan, keseimbangan primer mendekati titik nol. Sampai dengan triwulan III 2018, realisasi pendapatan negara mencapai 69,26% atau lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu sebesar 63,53%.
Sementara itu, realisasi belanja negara mencapai 68,11% atau lebih tinggi dari capaian sebesar 64,45% pada tahun sebelumnya. Dengan perkembangan tersebut, defisit anggaran tercatat sebesar 1,35% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
(Baca juga: Rem Utang, Penerimaan Perpajakan Digenjot Buat Belanja Negara)
Adapun langkah stabilisasi kurs rupiah terus dilakukan dengan mendorong perbaikan defisit neraca transaksi berjalan khususnya neraca perdagangan. Langkah yang dilakukan antara lain pengendalian kebutuhan impor proyek infrastruktur, implementasi kewajiban biodiesel B-20, perluasan cakupan produk yang dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) impor serta kenaikan tarifnya, serta peningkatan daya saing dan promosi ekspor.
Sejalan dengan upaya tersebut, di bidang moneter, Bank Indonesia (BI) menyatakan telah dan akan memperkuat bauran kebijakan yang konsisten untuk menurunkan defisit transaksi berjalan guna membantu stabilisasi kurs rupiah. Maka itu, BI telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 150 basis poin sepanjang tahun ini menjadi 5,75%.
BI juga telah mengaktifkan transaksi valuta asing (valas) berjangka Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) untuk mendukung stabilisasi kurs rupiah. "Mulai hari ini transaksi DNDF sudah berjalan dan sekitar 30 bank sudah signing," kata Gubernur BI Perry Warjiyo.
Di hari pertama transaksi, Perry menyebut pasokan dan permintaan bagus, sehingga kurs rupiah yang terbentuk di pasar DNDF bagus, bahkan diikuti NDF luar negeri. Kurs rupiah di pasar harian (spot) juga terpengaruh secara positif. “Jadi ada konvergensi, jumlah supply demand jalan dan ada kovergensi domestik (DNDF) dan spot mengarah ke lebih menguat,” kata dia.
(Baca juga: Tekanan Kurs Rupiah Berlanjut, Bagaimana Kecukupan Cadangan Devisa?)
Penguatan bantalan cadangan devisa juga terus dilakukan BI. Pada rangkaian pertemuan tahunan International Monetary Fund (IMF)-World Bank di Bali, BI dan otoritas moneter Singapura (Monetary Authority of Singapore) melakukan kerja sama bilateral swap and repo arrangements setara US$ 10 miliar.
BI dan Bank Sentral Jepang (Bank of Japan) telah menandatangani amandemen perjanjian kerja sama bilateral awap arrangement senilai US$ 22,76 miliar. "Sekarang BI sudah punya kerja sama swap dengan Korea, Australia, Jepang, Singapura, kami tinggal tahap akhir kerja sama dengan Tiongkok," kata Perry.
Dari sisi sistem keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan penyaluran kredit perbankan meningkat dengan risiko kredit terkendali, serta kapasitas permodalan memadai. Pertumbuhan kredit mencapai 12,69% per akhir September, rasio kecukupan modal perbankan tebal, tercermin dari Capital Adequacy Ratio (CAR) 23,03%.
Kemudian, rasio kredit seret atau Non Performing Loan (NPL) terkendali. NPL gross 2,66% dan nett 1,7%. "Ini artinya CAR dan NPL masih terjaga di tengah pertumbuhan kredit yang membaik," kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana.
Di sisi lain, rasio pembiayaan seret atau Non Performing Financing (NPF) perusahaan pembiayaan mencapai 3,17%. Sedangkan rasio solvabilitas atau Risk-Based Capital (RBC) tinggi untuk asuransi umum dan jiwa masing-masing sebesar 315% dan 430%.
Meski begitu, OJK melihat adanya kondisi likuiditas yang mengetat. "Tapi kami lihat kondisi likuditas yang mengetat, namun buffer (bantalan) terjaga," ujar dia. Melalui koordinasi dengan BI, OJK berharap momentum pertumbuhan akan berlanjut di masa depan.
(Baca juga: LPS: Likuiditas Bank Ketat, LDR 94% Perlu Diwaspadai)
Adapun volatilitas di pasar modal domestik masih berlanjut di triwulan III seiring masih tingginya tekanan dari pasar global. Namun, tekanan jual investor nonresiden terpantau menurun dibandingkan triwulan sebelumnya. Penghimpunan dana di pasar modal tercatat cukup besar mencapai Rp 143,6 triliun per 19 Oktober 2018.
Meski risiko pasar meningkat, OJK menilai lembaga jasa keuangan relatif dapat melakukan mitigasi secara efektif. Ini tercermin dari nilai investasi asuransi dan dana pensiun yang cenderung stabil. Dana kelolaan industri pengelolaan investasi per 19 Oktober 2018 tercatat sebesar Rp 729,6 triliun atau meningkat 7,23% dibandingkan akhir 2017.
Di bidang penjaminan simpanan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) akan terus memantau tren kenaikan suku bunga simpanan perbankan yang masih berlanjut. "Sebab kenaikan acuan diperkirakan masih berlangsung beberapa saat ke depan," kata Kepala Eksekutif LPS Fauzi Ichsan.
Sejak kebijakan moneter mulai mengetat di bulan April, rata-rata suku bunga deposito rupiah pada 62 bank acuan (benchmark) telah meningkat sebesar 42 bps menjadi 5,90%. Sementara itu, rata-rata suku bunga valas dari 19 bank benchmark meningkat sebesar 33 bps menjadi 1,10%.
Adapun pada 29 Oktober 2018, LPS kembali menaikkan tingkat bunga penjaminan sebesar 25 bps menjadi 6,75% untuk simpanan rupiah di bank umum dan 9,25% untuk Bank Perwakilan Rakyat (BPR). Sedangkan, untuk tingkat bunga penjaminan simpanan valuta asing di bank umum dipertahankan tetap sebesar 2%.