Pekerja Pers Tolak Campur Tangan Pemerintah Lewat Omnibus Law

Image title
Oleh Ekarina
17 Februari 2020, 12:48
Pekerja Pers Tolak Campur Tangan Pemerintah Lewat Omnibus Law.
ANTARA FOTO/Rahmad
Aksi teatrikal gabungan Mahasiswa Pro Jurnalis mengutuk tindak kekerasan terhadap jurnalis, di Lhokseumawe, Aceh. Sejumlah kalangan pers menolak campur tangan pemerintah dalam draf RUU Omnibus Law.

Sejumlah kalangan pers menolak upaya campur tangan pemerintah melalui revisi draf Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja (Ciptaker).  Setidaknya ada dua pasal disoroti dalam revisi Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers, yaitu mengenai modal asing dan ketentuan sanksi denda maupun pidana.

Dalam Undang Undang No. 40 tentang pers revisi dalam Omnibus Law RUU Ciptaker Pasal 11 menyebutkan, penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal.

"Pemerintah Pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal," bunyi UU tersebut. 

(Baca: Tak Hanya Buruh, Walikota pun Protes Omnibus Law)

Selanjutnya pada pasal 18 ada 4 ayat yang disoroti kalangan pers. Pasal 18 Ayat 1 menyebutkan, "Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta".

Pada revisi ayat 1, ketentuan denda tersebut diubah dan dinaikkan menjadi 400% dengan bunyi, "Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 2 miliar.

Selanjutnya di revisi ayat 2 menyatakan Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 2 miliar.

Kemudian pada ayat 3, perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100 juta direvisi menjadi perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif.

Terakhir, di ayat 4 mengenai ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).

Sikap Pers

Atas usulan revisi pasal Undang Undang Pers yang disodorkan pemerintah, kalangan pers yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan LBH Pers menyatakan sejumlah sikap.

(Baca: Untung Rugi Bonus Lima Kali Gaji di Omnibus Law)

Pertama, menolak upaya campur tangan pemerintah kembali dalam kehidupan pers. Niatan tersebut terlihat dalam Ombnibus Law Citaker soal adanya peraturan pemerintah tentang pengenaan sanksi administratif terhadap perusahaan media yang dinilai melanggar pasal 9 dan pasal 12.

Pasal 9 memuat ketentuan soal perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Pasal 12 mengatur soal perusahaan pers yang wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawabnya secara terbuka.

Padahal, Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yang menjadi payung hukum kebebasan pers saat ini, dibentuk dengan semangat self regulatory dan tak ada campur tangan pemerintah di dalamnya.

"Semangat itu tak bisa dilepaskan dari pengalaman buruk di masa Orde Baru, di mana pemerintah melakukan campur tangan sangat dalam di bidang pers," kata Ketua Umum AJI, Abdul Manan dalam keterangan tertulisnya," Senin (17/2).

Campur tangan itu ditunjukkan melalui adanya kewenangan pemerintah untuk mencabut SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), mengendalikan Dewan Pers dengan menempatkan Menteri Penerangan sebagai ketua secara ex-officio, dan menetapkan hanya satu organisasi wartawan yang diakui. Instrumen-instrumen itu yang kemudian dipakai oleh pemerintah untuk mengendalikan dan mengekang pers.

Lahirnya Undang Undang Pers tahun 1999 memiliki semangat untuk mengoreksi praktik buruk pemerintah Orde Baru dalam mengekang pers. Semangat itu tercermin antara lain dengan menegaskan kembali tak adanya sensor dan pembredelan, Dewan Pers yang dibentuk oleh komunitas pers dan tanpa ada wakil dari pemerintah seperti masa Orde Baru.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...