“Transparansi Tekan Pemburu Rente dan Politik Uang”

Jeany Hartriani
12 Juni 2017, 11:05
Faisal Basri KATADATA|Agung Samosir
Faisal Basri KATADATA|Agung Samosir

Ya. Apalagi tujuan EITI bukan untuk menghukum, tapi untuk perbaikan ke depan. Dengan gagasan EITI, perusahaan wajib melaporkan berapa yang dia bayar ke pemerintah, pemerintah wajib melaporkan berapa yang diterima dari perusahaan. Kalau ada perbedaan direkonsiliasi untuk menghasilkan perbaikan di masa mendatang.

Untuk mengatasi ketidakpatuhan industri dalam memberikan laporan, ada usulan untuk melibatkan KPK. Apakah Anda setuju?

KPK itu sudah jauh melangkah, sudah lebih maju daripada EITI. Jadi KPK tidak bisa menunggu EITI yang tidak punya peta siapa saja yang tidak bayar pajak. KPK sudah melakukan kajian lebih jauh, sudah menghitung sampai ke berapa kerugian negara. Harusnya EITI jadi acuan KPK.

Berdasarkan pengalaman Anda sebagai Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas, apa faktor penting dalam mewujudkan transparansi industri ekstraktif?

Leadership. Menurut saya Presiden Jokowi harus diingatkan. Jadi, inisiatif transparansi tidak berhenti di level Menteri Koordinator, karena peran yang paling besar berada di Kementerian ESDM, bekerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan. Butuh kepemimpinan yang kuat untuk menggerakkan itu semua. 

Apakah menurunnya sumbangan industri ekstraktif ke negara juga menjadi penyebab luputnya perhatian pemerintah dalam mendorong transparansi sektor ini?

Sektor migas dan tambang masih termasuk empat besar penyumbang GDP. Pertama manufaktur, lalu perdagangan dan pertanian. Karena besar, di APBN ada pos khusus yaitu penerimaan dan pajak migas.

Tapi bukankah ada penurunan sumbangan yang signifikan dari Rp 320 triliun menjadi Rp 80 triliun?

Ya tapi Rp 80 triliun itu bisa bikin kacau. Kalau 80 menjadi 40 gimana? Jadi tetap migas itu jangan tidak dianggap. Coba anda bayangkan, akibat migas kita kendor, impor minyak kita jadi naik. Ini kan berpengaruh ke balance of payment dan subsidi.

Indonesia merupakan anggota ASEAN yang pertama kali menerapkan EITI, kemudian menyusul Filipina, Myanmar, dan Papua Nugini. Sementara negara kaya SDA seperti Malaysia dan Brunei justru belum bergabung. Apakah dua negara itu tidak menganggap EITI penting?

Ya mereka tidak menganggap itu penting. Brunei misalnya, mereka negara kerajaan yang tidak menganut mekanisme transparansi pembukuan. Kita tidak akan pernah tahu berapa yang masuk buat Sultan dan keluarganya. Malaysia juga korupsinya lebih parah dari Indonesia. Praktek suap sangat lazim di sana. Thailand juga belum jadi anggota kan? Tentara banyak di sana, mereka juga bermain.

Jadi, praktek demokrasi juga berpengaruh.

Tentu saja.

Salah satu yang didorong EITi adalah membuka kontrak. Ada kekhawatiran ini didorong asing yang berkepentingan mengetahui data Indonesia.

Orang asing sebenarnya lebih tahu data kita daripada kita sendiri. Nah mereka yang anti kemudian menggunakan segala cara melakukan penolakan termasuk menuduh neolib. Padahal this is the first time in our world history dimana pemerintah, bisnis, dan civil society duduk bersama menyelesaikan masalah yang selama ini menimbulkan kecurigaan.

Kedua, yang namanya keterbukaan informasi, kontrak juga harus dibuka. Ya tidak semua harus dibuka, yang perlu dibuka itu kan untuk mengetahui berapa pendapatan dan berapa yang dibayar ke pemerintah. Pantaskah mereka membayar segitu. Jadi misalnya ada hal yang perlu dirahasiakan ya tidak ada masalah, bisa dibicarakan. Selama target bisa terpenuhi, tidak ada masalah. Toh orang pajak juga sudah tahu data sebenarnya.

Halaman:
Reporter: Jeany Hartriani

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...