Sanksi Keras Mengintai Pengusaha Pelanggar Harga Patokan Nikel

Image title
19 Oktober 2020, 19:14
smelter nikel, penambang nikel, bijih nikel, harga patokan mineral, hpm nikel, kementerian esdm
123RF.com/miraclemoments
Sanksi pencabutan izin usaha membayangi pengusaha tambang dan pemilik smelter yang melakukan transaksi jual-beli bijih nikel tak sesuai dengan harga patokan mineral atau HPM.

Chief Executive Officer PT Indonesia Morowali Industrial Park Alexander Barus sebelumnya mengatakan pabrik smelter membutuhkan waktu untuk menyesuaikan kebijakan baru itu. Pasalnya, HPM membuat harga bijih nikel menjadi lebih mahal. “Kami bukan tidak setuju. Tidak menolak HPM. Tapi berilah kami nafas kenaikannya tidak langsung US$ 10 per metrik ton,” kata dia, Selasa pekan lalu.

Ia mengusulkan kenaikannya US$ 2 hingga 5 per metrik ton dulu. “Lalu, nanti kami evaluasi sehingga beban antidumping dan input bisa kami hitung juga,” ujar Alexander.

Vale Indonesia-Divestiture
Ilustrasi bijih nikel. (ANTARA FOTO/REUTERS/Yusuf Ahmad)

Harga Nikel Formula Pemerintah

Pakar hukum pertambangan Ahmad Redi berpendapat ketegasan pemerintah atas pelanggar HPM perlu diterapkan untuk memberi kepastian hukum dan usaha. Selama ini, perusahaan berani melanggar ketentuan karena sanksi yang tidak tegas.

Sanksi berupa pencabutan izin usaha bakal menjadi momok bagi pengusaha. Apalagi bagi wilayah izin usaha pertambangan atau WIUP yang ada cadangannya. Apabila izinnya dicabut, akan ada pemohon izin lainnya yang siap mengajukan kembali. Nikel saat ini merupakan komoditas yang menarik bagi investor. Selama cadangan ada, peminatnya pasti banyak. "Bila izin dicabut maka yang rugi pasti pelaku usaha," kata dia.

Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia atau Perhapi menilai ketentuan mengenai HPM sangat penting karena hal ini akan berkorelasi atas hak pemerintah, berupa royalti yang dihitung berdasarkan persentase harga jual. HPM juga untuk memastikan tidak terjadi transfer pricing antara perusahaan pertambangan dan pembeli yang menjual nikel di bawah harga standar. Kondisi ini hanya merugikan negara karena harga nikel menjadi turun, begitu pula dengan pajak dan royalti.

HPM nikel yang ditetapkan pemerintah, menurut Ketua Umum Perhapi Rizal Kasli, telah mempertimbangkan dua sisi, baik penambang maupun pemilik smelter. Harga nikel formula pemerintah cenderung lebih murah dibandingkan untuk ekspor. Tujuannya, agar perusahaan smelter domestik dapat memperoleh bahan baku dengan harga kompetitif.

Risiko dan biaya investasi smelter jauh lebih besar dibandingkan dengam perusahaan pertambangan nikel. Kondisi itu pula yang membuat pemerintah memberikan insentif, berupa penetapan harga HPM yang relatif lebih kecil dibandingkan pasar internasional.

Namun, dengan harga yang murah tentunya akan mempengaruhi cadangan nikel. Penambang akan cenderung mengambil bijih nikel yang berkadar tinggi. "Kondisi ini akan berdampak kepada program hilirisasi nikel secara keseluruhan. Pengusaha smelter akan kekurangan supply bijih nikel dalam jangka panjang," kata Rizal.

Beberapa perusahaan smelter pun masih keberatan dengan penetapan harga itu. Mereka berdalih karena terlalu mahal dibandingkan harga pasar. Pemerintah pun menjembatani masalah ini dengan mempertemukan pihak penambang dan smelter. Harapannya, kedua pihak dapat sama-sama untung. Sehingga, kegiatan hilirisasi nikel tetap berjalan untuk memberi nilai tambah yang lebih besar.

Olahan Nikel
Ilustrasi nikel. (PT Antam TBK)

HPM Angin Segar Bagi Penambang Kecil

HPM untuk tata niaga nikel yang terbit tahun ini rupanya membuat angin segar bagi para penambang nikel kecil maupun menengah. Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengatakan, sebelum adanya HPM, para penambang mengeluhkan harga jual nikel yang sangat rendah. Akibatnya, bisnis mereka menjadi terseok-seok.

Meskipun aturan HPM telah terbit, tapi biaya angkutan dan asuransi atau cost insurance and freight (CIF) tetap berlaku. Padahal, berdasarkan pembelian di atas kapal tongkang atau free on board (FOB), biaya asuransi dan angkutan ditanggung pembeli. “Pemilik smelter menawar CIF setengah dari harga normal,” ucapnya.

Pelaksana Harian Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Djoko Widajatno menyebut transaksi jual-beli bijih nikel dengan harga di bawah HPM sangat merugikan penambang kecil hingga menengah yang bergantung pada smelter. Kondisinya berbeda dengan penambang nikel besar yang umumnya memiliki fasilitas pemurnian sendiri.

Sempat ada wacana untuk menyatukan pengusaha tambang kecil ini menjadi satu. Namun, rencana itu kandas di tengah jalan lantaran adanya perbedaan kepentingan dan keuntungan.

Tanpa pengawasan ketat, selama ini penambang terpaksa menjual bijih nikel dengan harga murah ke pemilik smelter, bahkan kepada tengkulak. “Pengawasan ada tapi apakah mampu melakukan law enforcement. Pasalnya, penegakan hukum biasanya tumpul ke atas tajam ke bawah," kata dia.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...