Transisi Energi dalam Kepungan Kontrak dan Proyek Energi Fosil

Image title
6 November 2020, 18:58
energi baru terbarukan, emisi karbon, perubahan iklim, kementerian esdm
123RF.com/varijanta
Ilustrasi. Pemerintah dianggap inkonsisten dalam kebijakan transisi energi fosil ke terbarukan.

Potensi energi terbarukan dari surya, melansir data Kementerian ESDM, mencapai 200 gigawatt. Namun, realisasinya baru dipakai 0,07%. Dengan kondisi itu, Tata belum melihat keseriusan pemerintah sehingga berbahaya bagi masa depan ketahanan energi dan upaya mengatasi perubahan iklim. “Kita belum on the right track untuk transisi energi,” ucapnya.

Pembangkit Tenaga Angin
Pembangkit listrik tenaga angin. (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)

Transisi Energi RI Dinilai Terlalu Lama

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat pemerintah belum sepenuhnya ingin melakukan transisi energi. Dalam hitungannya, Indonesia dapat mencapai target di 2050 apabila ada akselerasi pengembangan energi terbarukan.

Nah, transisi itu membutuhkan syarat penghentian pembangunan PLTU setelah 2025 dan melakukan fase keluar dari pembangkit batu bara berusia di atas 20 tahun setelah 2029. Kalau hal ini dilakukan, maka bauran energi dapat mencapai angka 66% hingga 70% di 2050.

Emisi gas rumah kaca dapat terpangkas menjadi 600 juta ton karbondioksida di 2050. Sektor kelistrikan berkontribusi sekitar 100 juta ton.

Dengan model kebijakan sekarang dan berlanjut hingga 2050, emisi karbon dari sektor energi dapat mencapai 1.400 juta ton di 2050. Sebanyak 40% dari jumlah itu berasal dari sektor kelistrikan.

Harapannya, pemerintah dapat mengakselerasi pemakaian EBT sehingga dekarbonisasi di sektor kelistrikan berpeluang terjadi di 2050 hingga 2060. Dengan begitu, sektor energi dapat bebas karbon pada 2070. “Ini sebenarnya terlalu lama dan tidak sejalan dengan Kesepakatan Paris,” ucap Fabby.

Dekarbonisasi juga harus dipercepat di sektor transportasi melalui penyediaan bahan bakar rendah karbon dan mobil listrik alias electric vehicle (EV). Saat ini, menurut dia, program elektrifikasi kendaraan masih lambat dan diproyeksi terakselerasi setelah 2025.

Sebagai informasi, Kesepakatan Paris merupakan persetujuan sekitar 190 negara dunia untuk menurunkan emisi karbon dan mencegah perubahan iklim. Targetnya, laju peningkatan temperatur global dapat tertahan hingga di bawah 2 derajat Celcius dari angka sebelum masa Revolusi Industri.

Seluruh negara juga sepakat menahan batas perubahan temperatur hingga setidaknya 1,5 derajat Celcius. Aksi ini mulai berlaku pada 2020. Untuk Indonesia, pemerintah berkomitmen menurunkan emisi karbonnya sebesar 29 persen dengan usaha sendiri pada 2030 dan 41% dengan bantuan internasional.

PELATIHAN MENGENAL TENAGA SURYA
Ilustrasi panel surya untuk pembangkit listrik tenaga matahari. (ANTARA FOTO/Arif Firmansyah)

Peran Energi Fosil Tetap Krusial?

Transisi energi di Indonesia, menurut pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto, tidak bisa meniadakan peran energi fosil. Proses perubahan ini lebih ke arah persiapan dan membuat energi terbarukan sebagai komplemen energi fosil. “Keduanya tetap ada dan diperlukan,” ucapnya.

Sesuai kebijakan energi nasional, pada 2030 hingga 2040, fosil masih berperan penting. Minyak, gas bumi, dan batu bara pemakaiannya tetap mayoritas, di kisaran 60%. Dengan porsi pemakaian EBT yang lebih besar, angkanya dapat turun menjadi sekitar 40% hingga 50%.

Pri Agung melihat posisi Indonesia tetap sejalan dengan transisi energi global. Pemerintah sebaiknya tetap melakukannya sesuai dengan sumber daya alam yang negara ini miliki. “Sebaiknya tidak latah dengan mengekor kebijakan negara lain begitu saja,” katanya.

Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma menilai upaya Kementerian ESDM dalam mengejar target 1 juta barel per hari masih beriringan dengan peta jalan transisi energi Indonesia. Peran fosil masih penting karena selama ini impor minyak mencapai hampir 1 juta barel per hari karena produksi di lapangan domestik hanya berkisar 700 ribu barel per hari.

Porsi minyak bumi diproyeksi bakal terus meningkat dalam beberapa tahun mendatang. Selain untuk bahan bakar, emas hitam juga untuk bahan baku industri. Banyak industri petrokimia yang masih bergantung pada bahan baku migas. “Jadi, tidak perlu khawatir dengan target produksi 1 juta barel karena penggunaan energi terbarukan pun akan naik,” ucapnya.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...