Bisnis Jual-Beli LNG Pertamina dalam Bidikan Ahok

Image title
13 Januari 2021, 16:33
ahok, basuki tjahaja purnama, lng, gas alam cair, mozambik, anadarko, pertamina, chenerie
123rf
Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menyorot kebijakan impor LNG Pertamina.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai kontrak pembelian LNG yang dilakukan Pertamina dengan perusahaan lain merupakan hal yang biasa dilakukan untuk diversifikasi portofolio. Perusahaan dapat melakukannya dengan catatan pembelian gas tersebut tidak merugikan. 

Dalam proses pembeliannya, ia meyakini Pertamina telah berhitung dengan cermat. Terutama untuk dijual kembali ke pasar spot. "Harga memang volatil, tapi mereka sudah membuat benchmark sehingga yakin tidak akan merugikan," kata dia.

Namun, persoalannya menjadi berbeda ketika produksi LNG domestik mulai melimpah, tapi serapan lokal masih belum maksimal. Bahkan kargo lokal di dalam negeri saja masih belum laku semua dan harus dijual di pasar spot. 

Kondisinya semakin runyam ketika pandemi muncul dan mengubah proyeksi akan konsumsi energi di Indonesia. "Jadi, pastinya yang disorot adalah perhitungan yang salah dalam membaca pasar dan proyeksi permintaan," Mamit.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal Husin pun berpendapat praktik trading (perdagangan) LNG adalah hal yang wajar. "Supplier maupun buyer hampir selalu membutuhkan perusahaan trading sebagai perantara yang membantu bisnis mereka," ujarnya.

LNG-Train,-ORF-&-utility-area.jpg
Ilustrasi fasilitas LNG. (KATADATA/)

Produksi dan Konsumsi LNG Tak Kunjung Seimbang

Kebijakan melakukan impor LNG di tengah pasokan dalam negeri yang berlebih sebenarnya bukan semata kesalahan Pertamina. Pasalnya, berdasarkan Neraca Gas Bumi Indonesia Tahun 2016-2035, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memprediksi Indonesia akan mulai mengimpor gas pada 2019.  

Total pasokan gas dari dalam negeri saat itu diprediksi hanya sebesar 7.651 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Untuk permintaan gasnya mencapai 9.323 juta standar kaki kubik per hari. Jadi, ada defisit yang harus ditutup dengan impor.

Pada 2017, Kementerian ESDM kembali menyusun ulang neraca gas Indonesia. Mantan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar kala itu mengatakan penyusunan dilakukan supaya lebih akurat dan terpercaya. “Sehingga ke depan kami bisa memprediksi apakah perlu mengimpor LNG atau tidak," kata dia.

Ketika itu, masih produksi LNG Tanah Air mulai banyak dan belum terserap. Bahkan SKK Migas memprediksi hingga akhir 2017, yang terserap hanya 47,03 kargo. Padahal, realisasi produksinya 61,90 kargo.

Tenaga Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Tata Kelola Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nanang Untung belum lama ini mengakui produksi LNG nasional saat ini tak seimbang dengan penyerapannya. Hal ini membuat produksinya berlebih, bahkan sebelum target 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) pada 2030 terealisasi. 

Sejak 1977, produksi gas alam menunjukkan tren kenaikan seiring meningkatnya eksplorasi ladang migas, seperti terlihat pada grafik Databoks di bawah ini. Kenaikannya seiring pula dengan konsumsinya. 

Sebagian besar gas tersebut masih untuk impor. Kebutuhan domestik terbesar untuk sektor industri. Urutan di bawahnya adalah tenaga penggerak dan pabrik pupuk.

Untuk menjual LNG di pasar spot, pemerintah menemui kendala. Harganya lebih rendah ketimbang menjual untuk domestik. Di dalam negeri, kisaran harga gas adalah US$ 6 per juta British Thermal Unit (MMBTU). “Jadi, banyak tantangan untuk pasarkan gas ini,” kata Nanang.

Pemerintah bersama SKK Migas sedang menggenjot kemampuan dalam negeri menyerap potensi gas. Tak terkecuali pembangunan infrastrukturnya, seperti pipa gas dan terminal LNG, hingga revitalisasi program konversi ke BBG.

Pengapalan Kargo LNG ke 1000 BP
Ilustrasi pengapalan kargo LNG. (twitter/@BP_Indonesia)

Hubungan Bisnis Pertamina dengan Anadarko

Sebelum adanya perjanjian jual-beli LNG, Pertamina dan Anadarko telah menjalin hubungan bisnis. Pada 2012, Pertamina Hulu Energi mengakuisisi tiga anak usaha Anadarko Petroleum Corporation. 

Akuisisi itu tertuang dalam kesepakatan definitif dengan Anadarko Offshore Holding Company LLC. Pertamina membeli 100% saham Anadarko Ambalat Limited, Anadarko Bukat Limited, dan Anadarko Indonesia Nunukan Company.

Ketiganya merupakan anak usaha Andarko yang menguasai 33,75% hak partisipasi Blok Amabalat, 33,75% Blok Bukat, dan 35% Blok Nunukan. Pertamina membelinya untuk meningkatkan teknologi operasi laut dalam dan membuka akses eksplorasi di dekat wilayah operasi perusahaan di Bunyu dan Tarakan, Kalimantan Utara.

Lalu, pada pertengahan 2020, Pertamina pun dikabarkan sedang melakukan diskusi dengan Occidental Petroleum Corp. Rencananya, perusahaan akan mengakuisisi sejumlah aset migas di Afrika dan Timur Tengah.Pembicaraan kedua belah pihak masih berlangsung. 

Nilai aset yang bakal Pertamina beli diperkirakan mencapai US$ 4,5 miliar atau sekitar Rp 63 triliun. Lokasinya berada di Ghana dan Uni Emirat Arab. Sumber Bloomberg menyebut kesepakatan ini akan mengurangi tumpukan utang Occidental untuk membeli Anadarko Petroleum Corp senilai US$ 37 miliar pada 2019. 

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...