DPR Menilai Pemerintah Tak Serius Perbaiki Iklim Investasi Migas
DPR menilai pemerintah tidak serius dalam memperbaiki iklim investasi minyak dan gas (migas) di sektor hulu. Sebab, pemerintah kurang aktif membahas revisi Undang-Undang atau UU Migas.
Anggota Komisi VII DPR Mulyanto mengatakan, sikap tak serius pemerintah ditunjukkan dengan menarik bab khusus migas, yang sebelumnya tertulis di Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.
“Waktu membahas UU Cipta Kerja, ada klausul revisi UU Migas dari pemerintah yang disebut akan merevisi dan membentuk badan pengganti Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas),” kata Mulyanto dalam webinar bertajuk ‘Kebijakan Insentif untuk Mendukung Peran Penting Industri Hulu Migas dalam Transisi Energi dan Perekonomian Indonesia’, Rabu (15/6).
“Pada akhirnya, pemerintah menarik bab terkait revisi UU Migas,” tambah dia.
Mulyanto mengatakan, pemerintah tak memberikan alasan jelas mengenai penarikan pembahasan revisi UU Migas di UU Cipta Kerja. Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menduga, pemerintah mendapat tekanan dari sejumlah pihak.
Sebab, terdapat materi yang membahas kelembagaan. “Kalau itu (bab terkait revisi UU Migas) masuk pembahasan RUU Ciptak Kerja, jadi alat dan lama,” ujar Mulyanto.
Ia menyampaikan, anggota Komisi VII mendorong pembahasan revisi UU Migas rampung tahun ini. Namun, hal ini tertunda karena tiap komisi di DPR hanya diberikan jatah satu rancangan undang-undang untuk diajukan ke rapat paripurna.
Jatah tersebut sudah digunakan untuk meloloskan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) ke rapat paripurna pada Selasa (14/6). RUU EBET dikabarkan akan disahkan menjadi UU sebelum pelaksanaan puncak G20 di Bali pada November.
“Komisi VII selesaikan RUU EBET. Kalau sudah selesai, baru masuk ke revisi UU Migas,” ujar Mulyanto.
Pada forum yang sama, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha mengatakan bahwa status kepastian dari kelembagaan SKK Migas sangat krusial. Saat ini, status kelembagaan SKK Migas merupakan Lembaga Ad Hoc yang dibentuk sementara.
“SKK Migas itu, Ad Hoc seharusnya segera dilegalkan dengan kekuatan hukum tetap, enam bulan pasca-diputuskan,” kata Satya.
“Saat itu didiskusikan agar kekuatan hukum itu masuk ke revisi UU Migas. Nah revisi ini berlarut-larut, sehingga ad hoc ini menjadi semi-permanen,” tambah dia.
Selain mengatur industri migas di sektor hulu, SKK Migas juga memainkan peran dalam transisi energi. Instansi ini bertugas mengoptimalkan produksi gas untuk menggantikan penggunaan batu bara yang saat ini menjadi sumber energi nasional.
“Jika SKK Migas menjadi tulang punggung yang menggantikan batu bara untuk transisi energi, maka kelembagaan ini harus diperkuat,” ujar Satya.
Sebelumnya, revisi RUU migas dinilai dapat memperbaiki iklim investasi migas di Indonesia. Sebab UU Migas sekarang dinilai minim kepastian hukum dan tak menawarkan insentif menarik bagi investor.
Wakil Ketua Komis VII DPR Eddy Soeparno menyampaikan, pembahasan revisi UU Migas baru akan dilaksanakan usai mereka menuntaskan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBT). RUU ini ditargetkan rampung pada kuartal III.
"Kami berharap dalam dua masa sidang bisa selesai. Kuartal ketiga tahun ini," kata Eddy kepada Katadata.co.id, Senin (21/3).
“Nah segera setelah RUU EBT sudah diajukan dan diputuskan di paripurna sebagai RUU dari DPR, kami sudah bisa mulai juga proses untuk Revisi UU Migas,” tambah dia.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (ASPERMIGAS) Moshe Rizal mengatakan, harus ada perubahan iklim investasi dengan mempermudah proses. Salah satunya, dengan menyelesaikan revisi UU Migas.
"Aturan yang masih berlaku sampai sekarang itu menghilangkan insentif yang diterima oleh industri migas, seperti assume and discharge. Walaupun satu persatu dikembalikan, tapi tidak menyeluruh," kata Moshe, Senin (21/3).
Assume and discharge adalah pembebasan pajak tidak langsung atas jatah bagi hasil migas kontraktor. Moshe menyebutkan, lapangan migas yang dimiliki oleh Indonesia mayoritas berada di laut lepas dan bagian timur.
Hal itu berdampak pada mahalnya lokasi eksplorasi, karena membutuhkan teknologi, pengalaman, dan kapital yang besar. "Di satu sisi, insentifnya berkurang. Sedangkan di luar sana, pasar investasi persaingannya, meningkat," ujarnya.
Dia berharap, pemerintah bisa lebih fleksibel dalam meningkatkan insentif dan kontrak yang lebih menarik kepada investor. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan survei pasar ke negara-negara kaya sumber daya migas.
"Pemerintah introspeksi diri ya perihal apa yang mereka tawarkan kepada investor. Terkait berapa cadangan migasnya? Bagaimana strateginya? Dari situ bisa dilihat apa yang harus kita (pemerintah) ubah," ujarnya.