Tiongkok Isyaratkan Balas Tarif AS, Perang Dagang Berpotensi Berlanjut

Image title
Oleh Ekarina
9 Mei 2019, 13:00
perang dagang AS-Tiongkok
Aktifitas bongkar muat kontainer di PT Jakarta International Container Terminal (JICT), Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Dia menambahkan bahwa rumor dan kicauan Trump baru-baru ini memperkecil peluang kesepakatan dagang kedua negara.

Pada pertengahan April 2019, IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini menjadi 3,3%. Dalam laporan World Economic Outlook (WEO) yang dirilis, IMF menurunkan proyeksi 0,2 poin dari estimasi pada Januari.

Proyeksi 3,3% untuk tahun ini adalah 0,3 poin persentase di bawah angka 2018. Namun, pertumbuhan ekonomi global diharapkan tumbuh kembali menjadi 3,6% pada 2020. Menurut IMF, ekonomi dunia menghadapi risiko-risiko penurunan yang disebabkan oleh ketidakpastian dan ketegangan perdagangan global yang sedang berlangsung, serta beberapa faktor lainnya.

Imbas Perang Dagang bagi Indonesia

Potensi memburuknya hasil negosiasi dagang AS dan Tiongkok dinilai bisa ikut berimbas kepada pelaku ekspor dalam negeri. Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan kondisi global setelah Trump mengancam Tiongkok dengan tarif yang lebih besar menyulitkan pasar produk asal Indonesia.

"Sekitar 25% pasar ekspor indonesia masih didominasi Tiongkok dan AS. Artinya ktika negosiasi damai dagang memburuk imbasnya langsung terasa ke pelaku ekspor indonesia," katanya kepada Katadata.co.id.

Sementara itu, jika Indonesia ingin mengalihkan komoditas ekspornya ke pasar alternatif juga dinilai bukanlah jalan pintas. Karena untuk penetrasi dan pengalihan ekspor ke pasar alternatif memerlukan waktu cukup lama.

Dengan kondisi perekonomian global yang menantang, dia pun memperkirakan sepanjang 2019 Indonesia masih akan mengalami defisit dagang sekitar US$ 5 miliar hingga US$ 6 miliar. Angka ini relatif lebih rendah dibandingkan 2018 yang mencapai US$ 8 miliar, ditopang kenaikan harga minyak yang tak setinggi tahun sebelumnya.

"Sehingga defisit migas tahun ini sedikit terkendali," katanya.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Tiongkok menempati peringkat pertama sebagai negara tujuan ekspor non migas Indonesia. Pada 2018, ekspor Indonesia ke Negeri Panda sebesar US$ 24,3 miliar. Sementara Amerika Serikat menempati urutan kedua dengan ekspor non migas sebessar US$ 17,6 miliar pada tahun lalu, diikuti Jepang US$ 16,3 miliar serta India US$ 13,6 miliar.

Wakil Ketua Umum KADIN Bidang Industri, Johnny Darmawan Danusasmita juga menyebut perang dagang yang berpotensi kembali memanas juga akan dirimbas bagi pelaku usaha dalam negeri. Terlebih lagi, Tiongkok merupakan salah satu pasar terbesar Indonesia selain India.

Dengan dikenakannya tarif produk Tiongkok oleh AS, perekonomian Negeri Tirai Bambu bisa terpengaruh. Dampaknya, Tiongkok juga kemungkinan akan mengurangi impor dari negara lain. "Hal ini pasti berpengaruh ke Indonesia. Sehingga cara mengantisipasinya kita harus cari lokasi jualan ke pasar luar, meskipun domestik kita juga besar," kata Johnnya kepada Katadata.co.id.

Karena itu dia juga berharap, perjanjian dagang yang sudah diselesaikan beberapa waktu lalu bisa dimanfaatkan untuk mendorong ekspor.

Kementerian Perdagangan menargetkan penyelesaian 12 perjanjian perdagangan pada tahun ini. Pembukaan akses pasar ekspor lewat perundingan bilateral dan regional akan menjadi salah satu startegi pemerintah dalam meningkatkan ekspor.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan pemerintah harus aktif dalam pembentukan perjanjian perdagangan internasional sampai penyelesaian ratifikasi. "Kami targetkan tahun ini ada 12 perjanjian yang selesai," kata Enggar di Jakarta, Kamis (10/1).

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...