Perang Dagang Diprediksi Bisa Berdampak dalam Jangka Menengah

Image title
Oleh Ekarina - Dimas Jarot Bayu
29 Juni 2018, 19:47
Pelabuhan Ekspor
Agung Samosir|KATADATA
Pelabuhan ekspor impor.

Dia pun melihat trend ekspor Indonesia masih lebih rendah, meskipun harga komoditas relatif naik. Karenanya, untuk mengantisipasi dampak perang dagang ke depan, Indonesia harus mulai bisa nmeningkatkan komoditas ekspor bernilai tambah, bukan sekedar ekspor barang mentah.

Di samping itu, percepatan perjanjian dagang dan upaya mencari negara tujuan ekspor baru juga bisa menjadi cara pemerintah untuk meningkatkan kinerja ekspor. "Dengan penerimaan ekspor yang meningkat, cadangan devisa pun naik maka diharapkan rupiah akan stabil," ungkapnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Mei defisit US$ 1,52 miliar atau sekitar Rp 21,4 triliun, dipicu oleh defisit sektor migas US$1,24 miliar dan nonmigas US$0,28 miliar. Secara kumulatif, defisit neraca perdagangan pada Januari – Mei 2018 mencapai US$ 2,8 miliar. Padahal periode sama tahun lalu, neraca perdagangan Indonesia surplus US$ 5,9 miliar.

Indonesia  juga mencatat defisit neraca perdagangan dengan Tiongkok menjadi US$ 8,1 miliar sepanjang Januari-Mei 2018. Defisit itu membengkak dibanding periode sama tahun lalu, yang sebesar US$ 5,87 miliar. Selain itu, defisit neraca perdagangan antara Indonesia dengan Thailand pun naik dari US$ 1,6 miliar menjadi US$ 2,1 miliar.

(Baca juga : Uni Eropa Balas Serangan Tarif Impor Produk AS)

Sementara dengan Amerika Serikat (AS), neraca perdagangan Indonesia masih surplus sebesar US$ 3,6 miliar. Namun surplus itu menurun dibanding tahun lalu yang senilai US$ 4 miliar. Kemudian surplus neraca dagang dengan India juga menurun dari US$ 4,3 miliar menjadi US$ 3,3 miliar.

Perjanjian Dagang

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengaku akan berhati-hati dalam menyikapi situasi perang dagang yang tengah dilakukan Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok dan sejumlah negara yang kian memanas

"Kami ikuti terus prosesnya karena kebijakan itu bisa berubah setiap saat," kata Enggar di kantornya, Jakarta, Jumat (22/6).

Kendati demikian, Enggar mengatakan Indonesia tak akan diam menyikapi perang dagang AS dengan sejumlah negara. Menurutnya, Indonesia bakal melihat masalah ini sebagai peluang agar dapat menghasilkan pengalihan perdagangan (trade diversion).

Dengan begitu diharapkan bisa meningkatkan ekspor Indonesia dengan sejumlah komoditas potensial Indonesia serta menggencarkan kerja sama dagang.

"Kalau toh terjadi pengenaan bea masuk yang tinggi antara kedua negara, maka kami akan mencoba masuk," kata Enggar.

Sebelumnya, Kementerian Perdagangan menargetkan bisa merampungkan sedikitnya  13 perundingan perjanjian dagang untuk mengejar target pertumbuhan ekspor sebesar 11% tahun ini.

Dengan adanya perjanjian dagang dengan pasar potensial, Indonesia diharapkan dapat mengejar persaingan dengan negara-negara kompetitor komoditas seperti Malaysia dan Vietnam.

Enggar menyebutkan perundingan dagang yang bakal segera diselesaikan adalah dengan Australia, European Free Trade Association (EFTA), Iran, Uni Eropa, dan Regional Comprehensive Economics Partnership (RCEP). Sementara, perjanjian dagang yang diusulkan untuk difinalisasi adalah dengan Turki, Peru, Nigeria, Mozambique, Kenya, Morocco, Afrika Selatan, Sri Lanka, Bangladesh, dan Eurasia.

Keuntungan perjanjian dagang, menurit Enggar adalah meningkatkan daya saing dengan pembebasan bea masuk untuk komoditas yang disepakati. Selain memperluas akses pasar, pemerintah akan meningkatkan pemasaran komoditas unggulan dengan misi dagang. Rencananya, selain minyak kelapa sawit, komoditas seperti produk otomotif, alas kaki, tekstil, dan furnitur akan terus dipromosikan ke negara lain.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...