Menelusuri Pangkal Perbudakan Modern di Kapal-kapal Ikan

Martha Ruth Thertina
11 Mei 2020, 19:26
Ilustrasi, siaran MBC News mengenai dugaan perbudakan terhadap awak kapal Indonesia di kapal China. Media asal Korea Selatan MBC News melaporkan perlakuan tidak manusiawi yang dialami oleh ABK asal Indonesia, di antaranya kondisi kerja yang berat serta pe
MBC News
Ilustrasi, siaran MBC News mengenai dugaan perbudakan terhadap awak kapal Indonesia di kapal China. Media asal Korea Selatan MBC News melaporkan perlakuan tidak manusiawi yang dialami oleh ABK asal Indonesia, di antaranya kondisi kerja yang berat serta perlakuan jenazah yang langsung dibuang ke laut.

Karakteristik tersebut membuat negara-negara ini rentan terhadap aktivitas perbudakan di dalam industrinya sendiri. Selain itu, menjadi asal negara nelayan yang jadi korban perbudakan di kapal-kapal berbendera asing di perairannya sendiri. Kondisi ini tergambar dalam laporan pemerintah Amerika Serikat yang bertajuk “2019 Trafficking in Persons Report: Indonesia”.

Berikut potongan laporan tersebut:

Nelayan Indonesia yang bekerja di kapal-kapal ikan Taiwan, Thailand, Malaysia, dan Filipina yang beroperasi di perairan Indonesia, Thailand, Sri Lanka, Mauritian, dan India melaporkan kapten kapal atas tindakan penyiksaan, kerja paksa, gaji yang tak dibayarkan, dan dalam beberapa kasus, pembunuhan.

Puluhan agen tenaga kerja di Indonesia, Myanmar, dan Thailand merekrut nelayan, membuatkan identitas palsu, dokumen izin kerja, dan memaksa mereka untuk menangkap ikan dengan waktu kerja yang panjang untuk upah yang kecil bahkan tidak dibayar, sambil menerima siksaan fisik yang berat.

Kapten dan kru kapal melarang nelayan untuk meninggalkan kapal dan melaporkan siksaan yang diterimanya dengan ancaman identitas palsu mereka akan dibuka kepada otoritas atau mereka akan ditahan dalam penjara buatan di darat.

Lebih dari 7.000 nelayan Indonesia keluar masuk dari kapal asing di pelabuhan di Cape Town, Afrika Selatan setiap tahunnya dan melaporkan telah bekerja di lingkungan yang mengerikan, terutama di kapal-kapal yang dimiliki penduduk Taiwan, Korea, dan Jepang.

Perbudakan Modern di Perairan Indonesia

Kasus perbudakan modern di wilayah Indonesia terbongkar beberapa tahun lalu, berkat laporan investigasi dari media asing Associated Press. Pada periode April hingga September 2015, lebih dari 2.000 buruh migran asing diselamatkan dari Benjina, Kepulauan Aru, Maluku, setelah dirilisnya laporan Associated Press (AP) tentang perbudakan yang terjadi di lokasi tersebut.

Ribuan buruh migran berkebangsaan Myanmar, Kamboja, Laos, dan Thailand tersebut bekerja untuk operator perikanan Thailand-Indonesia, dan operator lainnya di pulau tersebut. Pemerintah Indonesia melakukan langkah penyelamatan setelah para awak kapal membenarkan laporan AP, termasuk video delapan orang yang dikunci dalam tahanan dan pemakaman para budak.

(Baca: Soroti Dugaan Perbudakan ABK Indonesia, Susi Angkat Kasus Benjina)

Dalam video AP, tampak buruh migran ditahan dalam ruangan-ruangan berjeruji besi. Selain itu, terdapat pemakaman dengan nisan-nisan yang bertuliskan nama Thailand. Namun, sumber menyebut nama yang tertulis merupakan nama dari identitas palsu mereka.

Beberapa buruh migran yang diwawancara AP menceritakan bahwa mereka ditipu dan diselundupkan ke Indonesia dari Thailand dengan identitas palsu, bertahun-tahun lalu. Salah seorang di antaranya terjebak selama lebih dari 20 tahun dan mengaku dipukuli hingga babak belur saat meminta untuk pulang. Ia juga pernah dipenjara lantaran tertidur di tengah jam kerja yang panjang.

Dari hasil penelusuran AP, hasil tangkapan ikan dibawa ke Thailand untuk kemudian dikirim ke berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, dan menjadi rantai pasok untuk pusat perbelanjaan besar, restoran, dan perusahaan makanan olahan. Laporan ini menjadi sorotan dunia, bahkan memunculkan seruan boikot.

Merespons kondisi ini, Presiden Amerika Serikat ketika itu Barrack Obama meneken revisi undang-undang The Tariff Act 1930 guna memperkuat larangan impor lebih lanjut atas produk-produk dari pekerja anak dan budak.

Sebelum direvisi, impor produk tanpa melihat bagaimana produk tersebut diproduksi bisa dilakukan, dengan alasan consumptive demands atau permintaan yang tidak bisa dipenuhi oleh domestik. Revisi menghapus pengecualian tersebut.

Setengah dekade berlalu, Indonesia dinilai masih memiliki titik-titik lemah dalam melawan perdagangan manusia. Lewat laporan “Trafficking in Persons Report: Indonesia”, pemerintah AS menilai pemerintah Indonesia masih belum memenuhi standar minimal untuk mengeliminasi perdagangan manusia, tapi telah melakukan upaya signifikan guna mencapai hal tersebut.

Upaya yang dimaksud yakni pembentukan gugus-gugus tugas khusus guna mengurus soal perdagangan manusia, pembuatan materi sosialisasi guna meningkatkan kesadaran akan hal ini, serta penerbitan regulasi-regulasi anti-perdagangan manusia, termasuk perlindungan untuk pekerja Indonesia yang berada di luar negeri.

“Meski begitu, pemerintah tidak mencapai standar minimum dalam beberapa area kunci. Investigasi, penuntutan, dan penjatuhan hukuman turun,” demikian tertulis. Hal lain yang disorot adalah layanan rehabilitasi yang tidak cukup, alokasi dana untuk koordinasi gugus tugas yang turun dalam tiga tahun, dan adanya ketentuan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Manusia yang tidak konsisten dengan aturan internasional.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...