G7 Abaikan Usulan Pensiun Dini PLTU Batu Bara di 2030

Rezza Aji Pratama
11 April 2023, 12:55
Sebuah kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (24/2/2023). Kementerian ESDM menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) pada Pebruari 2023 menjadi 277,05 dolar AS per ton atau mengalami penurunan sebesar
ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/nym.
Sebuah kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (24/2/2023).

Kelompok negara kaya atau G7 berbeda pendapat soal tenggat waktu pensiun dini PLTU batu bara, menjelang pertemuan para menteri soal iklim, energi, dan lingkungan yang akan digelar pekan depan.

Sebagai Ketua G7 tahun ini, Jepan akan menjadi tuan rumah Ministerial Meeting di Sapporo pada 15-16 April 2023. Selain dihadiri negara anggota G7, pertemuan ini juga akan mengundang tiga negara lain yakni India sebagai presidensi G20, Indonesia (presidensi ASEAN), dan Uni Emirat Arab sebagai tuang rumah COP28. 

Melansir Bloomberg, draf komunike pertemuan tersebut menunjukkan Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang menyatakan keberatan atas usulan Inggris untuk menetapkan 2030 sebagai tenggat waktu pensiun PLTU. Kendati demikian, komunike juga menyepakati kebutuhan untuk membatalkan rencana baru pembangunan PLTU batu bara.

Sementara itu, Jerman menyodorkan alternatif bahasa yang lebih halus ketimbang menolak proposal Inggris tersebut. Dokumen komunike menunjukkan Jerman menggunakan kalimat ‘idealnya di 2030’ atau ‘di 2030-an’.

Penolakan Jepang terhadap tenggat waktu pensiun batu bara memang bukan hal baru. Dalam sejumlah pertemuan internasional, Jepang menyodorkan rencana meninggalkan batu bara tanpa jangka waktu tertentu. Sebaliknya, Jepang justru ingin mengandalkan hidrogen dan amonia hijau sebagai energi bersih. 

Sementara itu, pertemuan di Sapporo ini kemungkinan juga akan membahas soal investasi baru di sektor sektor gas bumi. Melansir Reuters, draf komunike menyebutkan G7 akan menyepakati investasi di hulu migas sangat diperlukan akibat perang Rusia-Ukraina. 

Bagi Jepang, ini sesuai dengan rencana transisi energinya yang memang masih akan mengandalkan LNG. “Kita masih akan membutuhkan gas untuk 10-15 tahun ke depan,” kata Yasutoshi Nishimura, Menteri Ekonomi, dan Perdagangan, dan Industri. 

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...