Anjlok Terdalam Sejak 1991, Harga Minyak Bisa Picu Gelombang Deflasi

Desy Setyowati
23 Maret 2020, 08:27
Anjlok Terdalam Sejak 1991, Harga Minyak Bisa Picu Gelombang Deflasi
Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Ilustrasi, seorang petugas melintas di area Refinery Unit V Pertamina Balikpapan Kalimantan Timur (22/7).

Secara teori, penurunan harga minyak semestinya bagus untuk pertumbuhan. Sebab, biaya bisnis turun ketika bahan bakar menjadi lebih murah.

(Baca: Harga Minyak Cetak Rekor Baru, Naik 24% Menjadi US$ 25 per Barel)

Tetapi, saat ini bukan waktu yang tepat. Masyarakat di banyak negara berdiam diri di rumah guna menekan penyebaran virus corona. Alhasil, permintaan justru menurun meski harga minyak merosot tajam.

"Kami perkirakan harga minyak akan terus jatuh dalam jangka pendek di tengah anjloknya permintaan, dan tidak ada batasan produksi setelah 1 April," kata Analis Kebijakan Energi Senior di Hedgeye Potomac Research Joseph McMonigle, dalam sebuah catatan dikutip dari Reuters, Senin (23/3).

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pun mengirim utusan khusus di bidang energi ke Arab Saudi untuk menstabilkan pasar minyak global. Sedangkan Trump berfokus menengahi perang harga minyak Saudi dan Iran. “Di waktu yang tepat, saya akan terlibat,” kata Trump dikutip dari Foxbusiness.com, Minggu (11/3).

Meski begitu, seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri mengatakan, pemerintah federal tidak memiliki kemampuan untuk memengaruhi OPEC dalam memangkas produksi. "Dari tingkat federal kami tidak memiliki hubungan yang berkelanjutan dengan OPEC, itu adalah kartel," kata pejabat tersebut.

(Baca: Harga Minyak Terus Turun Menyentuh US$ 23, Terendah sejak Tahun 2002)

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...