Rapat Tertutup, DPR Enggan Sampaikan Kemajuan Pembahasan RUU KPK

Dimas Jarot Bayu
13 September 2019, 22:30
Revisi UU KPK, KPK
ANTARA FOTO/MOCH ASIM
Mahasiswa membubuhkan tanda tangan dan cap telapak tangan pada spanduk hitam saat menggelar aksi #SaveKPK di Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Jawa Timur, Selasa (10/9/2019). Biarpun terjadi penolakan dari beberapa kalangan, DPR dan pemerintah terus melanjutkan pembahasan Revisi UU KPK.

(Baca: Minta Pemimpin Baru KPK Tolak RUU, Gerindra: Jangan Seperti Wayang)

Untuk diketahui, pembahasan Revisi UU KPK antara DPR dan pemerintah telah dimulai sejak Kamis (12/9) malam. Rapat tersebut dilakukan tanpa proses paripurna terlebih dahulu.

Dalam rapat tersebut, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly sebagai perwakilan Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa pemerintah menyambut baik Revisi UU KPK. "Kami bersedia melakukan pembahasan bersama dengan DPR RI," kata Yasonna.

Lebih lanjut, Yasonna menyampaikan tiga pandangan pemerintah atas Revisi UU KPK. Pandangan pertama berkaitan dengan pengangkatan Dewan Pengawas yang akan dibentuk melalui revisi aturan tersebut.

Pemerintah berpandangan pengangkatan ketua dan anggota Dewan Pengawas menjadi kewenangan Presiden. Hal ini untuk meminimalisir waktu untuk mengangkat ketua dan anggota Dewan Pengawas.

Meski demikian, pemerintah berpandangan bahwa mekanisme pengangkatan Dewan Pengawas harus tetap melalui Panitia Seleksi (Pansel). Ini dilakukan untuk menghindari kerancuan normatif dalam pengaturannya.

(Baca: Jokowi Tolak Tiga Poin dalam Draf Revisi UU KPK)

Selain itu, mekanisme pengangkatan Dewan Pengawas melalui Pansel dilakukan agar terciptanya proses check and balances, transparansi, dan akuntabilitas. "Serta membuka ruang bagi masyarakat untuk dapat memberikan masukan terhadap calon anggota pengawas mengenai rekam jejaknya," kata Yasonna.

Pandangan kedua pemerintah berkaitan dengan keberadaan penyelidik dan penyidik independen KPK. Menurut Yasonna, perlu ada pembukaan ruang dan akomodasi penyelidik dan penyidik berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN). Ini dilakukan untuk menjaga kegiatan penegakan hukum tindak pidana korupsi yang berkesinambungan.

Pemerintah pun mengusulkan adanya rentang waktu selama dua tahun untuk mengalihkan penyelidik dan penyidik tersebut dalam wadah ASN. "Dengan tetap memperhatikan standar kompetensi mereka, yakni harus telah mengikuti dan lulus pendidikan bagi penyelidik dan penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," kata dia.

(Baca: Jokowi Setuju SP3, Status ASN, dan Dewan Pengawas Masuk Revisi UU KPK)

Pandangan ketiga pemerintah terkait penyebutan KPK sebagai lembaga negara. Dalam RUU KPK, kedudukan komisi antirasuah tersebut berada ada cabang kekuasaan eksekutif pemerintahan yang tugas dan kewenangannya bersifat independen.

Yasonna mengatakan, KPK memang melaksanakan fungsi-fungsi dalam domain eksekutif, yakni penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Namun demikian, KPK dalam pelaksanaan tugasnya tetap harus bebas dari pengaruh. Wewenangnya pun bersifat independen dari kekuasaan manapun.

Pandangan ini didasari adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 36/PUU-XV/2017 mengenai pengujian Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). "Yang menyebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga penunjang yang terpisah atau bahkan independen yang merupakan lembaga di ranah eksekutif," kata Yasonna.

Selain ketiga pandangan tersebut, pemerintah pun menyampaikan beberapa usulan perubahan substansi yang berkaitan dengan koordinasi penuntutan, penyebutan istilah lembaga penegak hukum. Kemudian, pengambilan sumpah dan janji ketua dan anggota Dewan Pengawas serta mengenai Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

(Baca: Profil 5 Pimpinan Komisioner KPK Baru Hasil Pilihan DPR)

Halaman:
Reporter: Dimas Jarot Bayu
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...