Mahkamah Konstitusi Kembali Tolak Gugatan Ambang Batas Calon Presiden

Dimas Jarot Bayu
25 Oktober 2018, 16:25
Aksi Hapus Ambang Batas Nyapres
ANTARA FOTO/ Reno Esnir
Sejumlah aktifis pro demokrasi yang mendaftarkan Pengujian Undang-Undang No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, membentangkan spanduk seusai melengkapi syarat gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK),Jakarta, Kamis (21/6). Mereka meminta MK untuk menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dalam Pilpres 2018 mendatang.

Setidaknya, terdapat lima gugatan uji materi mengenai PT yang terhadap Pasal 222 UU Pemilu. Ada dua gugatan uji materi yang ditolak Mahkamah, antara lain berasal dari 12 tokoh masyarakat dan aktivis. Kemudian, gugatan yang diajukan oleh Effendi Ghazali cs. Sementara, tiga gugatan lainnya dinyatakan tidak dapat diterima.

(Baca juga: MK Sebut Butuh Waktu Proses Gugatan Masa Jabatan Cawapres)

Menanggapi ini, kuasa hukum 12 tokoh masyarakat dan aktivis pemohon uji materi, Denny Indrayana mengaku menghormati putusan Mahkamah. Meski demikian, Denny tetap berpandangan bahwa syarat presidential threshold dalam pemilu secara esensial bertentangan dengan konstitusi.

Alasan dasarnya, tidak ada persyaratan presidential threshold dalam UUD 1945. Namun, syarat itu tiba-tiba muncul dan dikaitkan dengan hasil pemilu lima tahun sebelumnya. “Tidak ada di negara manapun di dunia ini yang syarat presidennya itu dikaitkan dengan pileg lima tahun sebelumnya. Jadi Indonesia adalah satu-satunya, dan menurut kami seharusnya ini dibatalkan,” kata Denny.

Sementara, Effendy menilai pertimbangan majelis hakim Mahkamah yang menolak gugatannya mengandung kebohongan dan tak masuk akal. Effendy berpendapat jika analogi yang diambil majelis hakim Mahkamah dalam pertimbangannya keliru.

(Baca: 12 Tokoh, Mantan Pejabat, Ekonom Gugat Lagi Ambang Batas 20 %)

Dia menilai seharusnya posisinya sebagai pemohon gugatan dipertimbangkan. Lebih lanjut, majelis hakim juga dinilai tak menjawab pertanyaan yang diajukannya terkait negara mana di dunia yang menggunakan presidential threshold dari pileg lima tahun sebelumnya. “Sebelum itu bisa dijawab, artinya hakim Mahkamah melakukan pembohongan publik,” kata Effendy.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...