Menilik Dampak Dana Otsus Papua & Papua Barat, Masih Perlukah?

Image title
18 Agustus 2020, 19:00
Ilustrasi. Pemerintah kembali menambah dana otonomi khusus atau Otsus untuk Provinsi Papua dan Papua Barat dalam RAPBN 2021 menjadi Rp 7,8 triliun. Bagaimana pelaksanaannya sejak 2002 sampai sekarang?
ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Ilustrasi. Pemerintah kembali menambah dana otonomi khusus atau Otsus untuk Provinsi Papua dan Papua Barat dalam RAPBN 2021 menjadi Rp 7,8 triliun. Bagaimana pelaksanaannya sejak 2002 sampai sekarang?

Rasio gini kedua provinsi yang menunjukkan kesenjangan ekonomi pun masih melampaui angka nasional berdasarkan data BPS per Maret 2020. Rasio gini Papua sebesar 0,392 dan Papua Barat sebesar 0,382, sementara nasional sebesar 0,381.

Fakta tersebut tak jauh dari data BPS pada 2019 yang menyatakan penduduk miskin paling banyak berada di Pulau Maluku dan Papua, yakni 20,9% dari total penduduk Indonesia. Angka tersebut di atas Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (17,9%), Sulawesi (10,4%), dan Sumatera (10,2%).

Pada kuartal kedua 2020, pertumbuhan ekonomi Maluku dan Papua menjadi yang positif di antara pulau lain di negeri ini, yakni 2,36%. Namun, dilihat dari strukturnya terhadap perekonomian nasional masih terkecil, yakni 2,37%. Terbesar adalah Jawa dengan 58,55% yang menunjukkan pemerataan ekonomi belum bisa sampai ke daerah paling Timur Indonesia itu.

Ditilik dari pembangunan infrastruktur, kondisi Papua dan Papua Barat masih memprihatinkan. Sampai September 2016, BPS mencatat 2.658 desa di Papua tak memiliki jalan yang bisa dilalui kendaraan roda empat sepanjang tahun. Sementara di Papua Barat sebanyak 285 desa.

Rasio elektrifikasi di Papua juga menjadi bagian empat provinsi terendah di Indonesia sampai 2017 berdasar data Perusahaan Listrik Negara (PLN), yakni sebesar 42,9%. Tiga provinsi lainnya adalah NTT (52,9%), Sulawesi Barat (66,8%), dan Kalimantan Tengah (69,8%).

Papua juga menjadi provinsi dengan skor indeks pembangunan teknologi informasi terendah di Indonesia sampai 2015, yakni 2,91. Di bawah NTT (3,26), Sulbar (3,33), dan NTB (3,67). Daftar 10 provinsi dengan indeks terendah terlihat dalam Databoks berikut:

Masih Perlukah Dana Otsus?

Tak efektifnya pelaksanaan Otsus Papua dan Papua Barat pernah disoroti mantan tahanan politik Papua, Filep Karma. Ia menilainya telah gagal dan tak setuju wacana pemerintah merevisi UU Otsus yang akan berakhir pada tahun depan agar bisa melanjutkannya, termasuk penggelontoran dana.

“Otsus dijanjikan bukan berjilid-jilid, hanya satu kali,” katanya melansir Tirto.Id, Senin (27/7) lalu.

Filep menyatakan selama pelaksanaan Otsus tersebut pelanggaran HAM juga terus terjadi. Hal ini sesuai dengan laporan Amnesty Internasional Indonesia bertajuk Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati: Pembunuhan dan Impunitas di Papua bahwa, sepanjang Januari 2010 hingga Februari 2018 ada 69 kasus pembunuhan di luar hukum di Papua.

Pendapat berbeda disampaikan Peneliti LIPI sekaligus Koordinator Jaringan Damai Papua-Jakarta Adriana Elisabeth. Menurutnya, Otsus tetap perlu dilanjutkan termasuk penganggaran dananya. “Papua dan Papua Barat tanpa Otsus itu mau bagaimana?” katanya saat dihubungi reporter Katadata.co.id, Selasa (18/8).

Lagi pula, menurutnta, konsekuensi tanpa Otsus adalah orang asli Papua akan kehilangan afirmasi politik di pemerintahan yang selama ini dinikmati. Mereka akan bersaing terbuka dengan pendatang untuk menduduki jabatan politik di sana.

“DPRP dan MRP juga akan dibubarkan, apa sudah siap dengan konsekuensi itu?” katanya.

Meski begitu, ia tetap membenarkan bahwa Otsus belum efektif. Salah satu penyebabnya adalah belum sesuai dengan kebutuhan dan kondisi orang asli sana. Sebaliknya masih berdasarkan permintaan atau usulan pemerintah provinsi.

“Pemerintah provinsi kan hanya menyambung hubungan dengan pusat saja. Itu harus dari kampung, karena kondisinya di situ,” kata Adriana.

Adriana mencontohkan pendidikan yang menjadi fokus utama pelaksanaan dana Otsus. Semestinya pemerintah membuat kurikulum khusus berdasarkan kondisi etnografis 7 wilayah adat di sana yang dikombinasikan dengan kurikulum nasional. Bisa dengan memasukkan konten lokal di dalamnya.

Metode pembelajarannya, kata Adriana, juga mesti disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya. Misalnya dengan menerapkan pembelajaran secara visual yang menurutnya lebih mudah diterima orang asli Papua.

“Perlu juga menambah sumber daya manusia pengajar di sana dan programnya harus berkelanjutan,” kata Adriana.

Adriana juga menyoroti pengelolaan yang masih buruk sebagai penyebab belum efektifnya pemanfaatan dana Otsus. Seperti halnya temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2011, bahwa Rp 4,281 triliun dana Otsus disalahgunakan sepanjang 2002-2010 dari total Rp 28,842 triliun.

Guna menyelesaikannya, kata Adriana, pemerintah perlu mengevaluasi tata kelola pemerintahan di Papua dan Papua Barat. Ia pun meminta pemerintah menggalakkan penegakan hukum. Mengingat, tanpa keduanya mustahil pemanfaatan dana Otsus efektif meskipun terus bertambah setiap tahunnya.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...