Selain Sanksi! Publik Butuh Komunikasi dan Edukasi Hadapi Pandemi

Sahistya Dhanesworo
Oleh Sahistya Dhanesworo - Tim Riset dan Publikasi
28 April 2022, 14:00
Seorang warga mendapat suntikan vaksin COVID-19 dosis penguat atau booster saat vaksinasi bagi pedagang pasar di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, Selasa (19/4/2022).
ANTARA FOTO/Galih Pradipta/wsj.
Seorang warga mendapat suntikan vaksin COVID-19 dosis penguat atau booster saat vaksinasi bagi pedagang pasar di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, Selasa (19/4/2022).

Sasaran dari komunikasi risiko meliputi pemudik, pengemudi kendaraan pribadi dan umum, pelaku bisnis wisata, petugas lapangan dari berbagai unsur, seperti POLRI, TNI, Dinas Perhubungan dan Dinas Kesehatan, serta fasilita pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan. 

Komunikasi risiko juga dilakukan melalui berbagai media. 

Widyawati lantas mencontohkan bahwa Kementerian Kesehatan telah melakukan berbagai wawancara dengan media, menghadiri talkshow di televisi dan radio, dan bekerja sama dengan media untuk lakukan peliputan di lapangan. 

“Ada berita, artikel (dan) advertorial di media online dan cetak, publikasi konten di website, di radio, sampai kepada penyebarluasan materi KIE di media luar ruang di tempat publik.” 

Widyawati juga menampilkan sejumlah video reels dan TikTok yang menampilkan Menteri Kesehatan Budi Gunawan Sadikin berbicara mengenai pentingnya vaksinasi dan protokol kesehatan. 

Penelitian tentang vaksinasi yang dilakukan oleh peneliti senior dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gajah Mada Dwie Susilo MBA MPH, juga membuktikan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap vaksinasi cukup tinggi. 

“Masyarakat sudah menaruh kepercayaan kepada program pemerintah dan mereka menerima vaksin apapun yang tersedia,” kata Dwie. 

Dwie melanjutkan bahwa sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa pemerintah tidak mungkin bohong, sehingga tidak mungkin melakukan kejahatan kepada masyarakat. 

“Mayoritas informan kami menaruh kepercayaan penuh pada pemerintah.” 

Dwie juga menambahkan sejumlah faktor lain yang mendorong masyarakat bersedia divaksin yakni lokasi yang dekat dengan tempat tinggal, serta tersedianya layanan khusus seperti vaksin door to door dan vaksin drive thru. 

Terkait komunikasi risiko, Dwie mengungkapkan bahwa masyarakat membutuhkan pendekatan promotif melalui komunikasi yang bersifat persuasif dan kaya informasi.

“Publik tidak suka dengan sanksi dan ancaman. Misalnya, ‘kamu kalo gak vaksin nanti gak dilayanin atau bansosmu nanti dihentikan atau ditahan’, itu mereka gak suka,” ujar Dwie. 

Ia juga menjelaskan bahwa komunikasi harus dilakukan dalam berbagai metode seperti tatap muka, gambar, teks, atau video yang dilengkapi dengan running text atau bahasa isyarat. 

Tujuannya adalah mengakomodir berbagai pihak seperti kelompok masyarakat tuli atau penyandang disabilitas lainnya. 

Pada akhir diskusi, berbagai pertanyaan menarik muncul. Salah satunya berasal dari Plt Kepala Dinkes Gowa, Taufiq, yang menanyakan apakah tren positif masih tetap perlu diberitakan kepada masyarakat, mengingat jumlah kasus penularan yang cenderung melandai. 

Ia khawatir jika tren positif itu justru malah akan membuat masyarakat menjadi lengah. 

Menjawab hal ini, Widyawati mengusulkan bahwa informasi positif harus tetap wartakan, tapi disertai himbauan, pemantauan, dan edukasi agar kondisi tersebut tetap dapat terjaga. 

Made Dwipayana dari Dinas Kesehatan kota Jembrana menambahkan bahwa selain upaya-upaya  di atas, pelibatan tokoh masyarakat dan tokoh religius juga berperan penting, dalam  mempengaruhi masyarakat untuk tetap patuh pada peraturan. 

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...