Perkembangan Pengaturan Tanggung Jawab Mutlak Perkara Lingkungan Hidup

Annisa Fianni Sisma
7 Desember 2022, 15:30
Tanggung Jawab Mutlak
ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/aww.
Ilustrasi, warga membersihkan sampah styrofoam yang mencemari Kali Licin, Mampang, Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat, Senin (12/9/2022).

Besaran nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Artinya, jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.

Selanjutnya, UU 32/2009 diubah dengan UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Ketentuan yang menjadi kontroversi dalam pengaturan ini adalah hilangnya frasa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”. Undang-undang ini dianggap mengubah orientasi konsep strict liability dan melonggarkan pelanggaran potensial yang dilakukan oleh pengusaha.

Ketentuan ini dianggap mengubah orientasi prinsip tanggung jawab mutlak sehingga sumir/pendek perbedaannya dengan liability based on fault yang secara umum diterapkan dalam proses gugatan perdata berdasarkan Pasal 1365 dan 1366 KUHPerdata dan berpotensi melemahkan akses masyarakat terhadap keadilan.

Tanggung jawab mutlak selanjutnya diatur lebih rinci terdapat pada Pasal 501 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dalam PP tersebut, disebutkan bahwa dalam hal kesimpulan laporan hasil pengawasan oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup yang dinyatakan tidak taat, Pejabat tersebut memberikan rekomendasi tindak lanjut penegakan hukum administratif, perdata, dan/atau pidana.

Selain itu, pejabat yang dimaksud juga dapat menerapkan pembuktian pertanggungjawaban mutlak. Pertanggungjawaban mutlak ini harus dimintakan oleh penggugat dan termuat dalam surat gugatan.

Pertanggungjawaban mutlak dapat dimintakan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika usaha dan/atau kegiatannya menggunakan, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup.

Namun, pengaturan tanggung jawab mutlak di sini berbeda dengan sebelumnya. Tergugat dapat mengajukan pembelaan dengan pembuktian bahwa ia tidak menggunakan, menghasilkan limbah B3, maupun menimbulkan ancaman serius, dan/atau pencemaran dan/atau pencemaran lingkungan hidupnya bukan disebabkan oleh usaha dan/atau kegiatannya melainkan pihak lain atau force majeur.

Bahkan, aturan kembali lagi seperti pada UU 23/1997, yakni tergugat dapat dibebaskan dari tanggung jawab mutlak jika dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup disebabkan oleh bencana alam atau peperangan, keadaan memaksa di luar kemampuan manusia, atau akibat perbuatan pihak lain. Pihak lainlah yang kemudian bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan.

Demikian perkembangan pengaturan tanggung jawab mutlak dalam perkara lingkungan hidup. Selanjutnya dapat diketahui bahwa konsep tanggung jawab mutlak sebenarnya tanpa adanya pembuktian, tetapi dengan adanya UU 11/2021 dan PP 22/2021, justru menegaskan tergugat dapat melakukan pembuktian bahwa ia dapat dibebaskan dari tanggung jawab mutlak.

Selain itu, dapat diketahui pula bahwa ketentuan UU 11/2021 dan PP 22/2021 bertentangan konsepnya. UU No. 11/2021 menegaskan bahwa unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh penggugat dan merupakan lex specialis PMH. Namun PP No. 22/2021 mengharuskan adanya pembuktian dalam surat gugatannya.

 

Halaman:
Editor: Agung
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...