Tren Perusahaan ‘Cek Kosong’ di Asia dan Kans Unicorn RI IPO pada 2021

Desy Setyowati
23 Desember 2020, 18:11
Tren Perusahaan ‘Cek Kosong’ di Asia dan Kans Unicorn RI IPO pada 2021
123RF.com/Sembodo Tioss Halala
Ilustrasi

Namun, kepala investasi dan direktur penelitian di ETF Trends and ETF Database Dave Nadig menilai risikonya besar. “Potensi keuntungan yang berlebih, jelas ada risiko yang sangat besar,” kata dia dikutip dari CNBC Internasional, awal Desember lalu (8/12).

Hal itu karena perusahaan yang diakuisisi oleh SPAC otomatis menjadi emiten, tanpa melalui proses penilaian yang panjang sebagaimana IPO tradisional.

Sisi negatif IPO lewat SPAC
Sisi negatif IPO lewat SPAC (CB Insights)

Meski begitu, Co-Founder sekaligus Managing Partner di Ideosource dan Gayo Capital Edward Ismawan Chamdani menilai bahwa peran sponsor SPAC sangat penting untuk menunjang kredibilitas dan jaringan ke investor. “Ini sama dengan posisi emiten menunjuk penjamin emisi (underwriter) yang tepat,” kata dia kepada Katadata.co.id, akhir pekan lalu (18/12).

Siapa Unicorn yang Berpotensi Lebih Dulu IPO?

Edward pun menilai, peluang startup Indonesia IPO lewat skema SPAC cukup menjanjikan, salah satunya Tokopedia. “Ini karena sudah ada preseden sebelumnya yakni Sea Group,” ujar dia.

Induk Shopee tersebut terdaftar di bursa saham Singapura, Frankfurt, Jerman, dan New York, AS. “Model bisnisnya sama dengan Tokopedia. Posisi unicorn Indonesia juga tidak kalah dibandingkan Shopee,” kata dia.

Sedangkan angka kunjungan ke platform Shopee dan Tokopedia di Indonesia dapat dilihat pada Databoks di bawah ini:

Saat ini, kapitalisasi pasar Sea Group hampir US$ 100 miliar. Sedangkan merger Tokopedia dan Bridgetown disebut-sebut akan menghasilkan valuasi US$ 8 hingga US$ 10 miliar. “Ini dianggap potensial oleh investor di sana (AS),” katanya.

Selain itu, investor Grab dan Tokopedia yakni SoftBank mengajukan izin untuk mendirikan SPAC pada Senin lalu (21/12). “Ini memungkinkan kami bermitra dengan perusahaan teknologi siap IPO yang berkembang pesat,” kata perusahaan dalam dokumen pengajuan dikutip dari CNBC Internasional, Selasa (22/12).

Presiden Tokopedia Patrick Cao pernah menyampaikan, perusahaan berencana IPO di dua bursa dalam tiga tahun ke depan, salah satunya di Bursa Efek Indonesia (BEI). Sedangkan opsi lainnya yakni AS.

Namun, sumber Reuters mengatakan bahwa Tokopedia berencana IPO di bursa saham AS dan BEI pada 2021. Sumber lain mengungkapkan, penawaran ini akan membuat valuasi perusahaan tembus US$ 10 miliar atau berstatus decacorn.

Sebelumnya, perwakilan Tokopedia mengatakan bahwa perusahaan telah menunjuk Morgan Stanley dan Citi sebagai penasihat untuk IPO. “Saat ini, kami belum memutuskan pasar dan metode untuk ini,” ujar dia kepada Katadata.co.id, Rabu pekan lalu (16/12). Salah satu opsinya melalui SPAC.

(BACA JUGA: Seperti Tokopedia, Traveloka Kaji IPO lewat Perusahaan "Cek Kosong")

Traveloka juga mengkaji opsi serupa. "SPAC merupakan salah satu opsi yang dievaluasi, karena kami telah didekati oleh beberapa orang," kata Presiden Traveloka Henry Hendrawan dalam pernyataan resmi dikutip dari Reuters, Senin (21/12).

Ia sempat menyampaikan bahwa Traveloka berencana IPO di dua bursa yakni Indonesia dan AS. Untuk bisa menjadi perusahaan publik, startup ini berfokus meraup untung.

Henry optimistis perusahaan akan mencapai titik impas (break even point/BEP) pada akhir tahun atau awal 2021, jika industri perjalanan pulih setidaknya 50% dibandingkan sebelum ada Covid-19. Selain itu, akan segera meraih keuntungan.

Bukalapak dan Gojek juga berencana IPO. Namun, keduanya enggan menanggapi permintaan komentar dari Reuters terkait potensi IPO lewat SPAC.

Sedangkan startup yang bersiap IPO pada tahun depan yakni LinkAja. Pada November lalu, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, kementerian berencana mendorong perusahaan teknologi finansial (fintech) pembayaran itu untuk mencatatkan saham perdana dalam satu hingga 1,5 tahun ke depan.

Sejauh ini, ada beberapa startup yang sudah melantai di bursa saham. Mereka di antaranya Surge Digital Ecosystem, Cashlez, Yelooo Integra Datanet, Tourindo Guide Indonesia, M Cash Integrasi, Digital Mediatama Maxima, Distribusi Voucher Nusantara, Kioson Komersial Indonesia, NFC Indonesia, dan Telefast Indonesia.

CEO BRI Ventures Nicko Widjaja mengatakan, pandemi Covid-19 memaksa industri modal ventura mengalibrasi ulang dan menjauh dari model growth-at-all-costs. Alhasil, mereka berfokus mendanai startup yang mampu mengukir pertumbuhan cepat, menguntungkan, dan berkelanjutan.

"Oleh karena itu, saya mengestimasi bahwa IPO merupakan salah satu opsi pendanaan untuk para startup agar bisa tumbuh berkelanjutan ke depan,” kata Nicko dikutip dari Antara, November lalu (11/11).

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati, Antara, Ihya Ulum Aldin
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...