Driver Sering Demo, Benarkah Bisnis Ojol Seperti Gojek & Grab Gagal?
Pengemudi ojek online atau ojol beberapa kali demo terkait tarif, status kemitraan hingga regulasi. Investor dari kalangan modal ventura menilai, bisnis yang digarap oleh Gojek, Grab hingga Maxim ini tetap menarik.
Co-Founder sekaligus Managing Partner di Ideosource dan Gayo Capital Edward Ismawan Chamdani mengatakan, sektor taksi dan ojek online sangat diperlukan. Oleh karena itu, ia optimistis layanan ini akan selalu ada.
Maraknya demonstrasi oleh ojek online menurutnya merupakan hal biasa. “Demo atau kendala-kendala yang terjadi menurut saya lebih ke masalah penanganan yang perlu dikoreksi dari berbagai pihak,” kata Edward kepada Katadata.co.id, Selasa (11/10).
“Tetapi ujungnya akan selalu tetap ada,” tambah dia. “(Demo) pernah terjadi di Amerika Serikat, bahkan bukan hanya dari driver tetapi juga regulator yang komplain.”
Edward mengatakan bahwa sektor taksi dan ojek online yang sudah terbukti memiliki dampak besar dan luas. “Ide bisnisnya menarik,” katanya.
“Ini memudahkan konsumen. Jadi seharusnya akan terus ada,” tambah dia. “Dan kita sebagai konsumen sebetulnya dimanjakan.”
Dia memahami bahwa bisnis Gojek, Grab hingga Maxim dipengaruh juga oleh aturan seperti tarif ojol dan kenaikan harga BBM alias bahan bakar minyak (BBM). Menurutnya ini bagian dari bisnis yang berfluktuasi.
Namun, “suatu saat pasti akan balance (seimbang) kembali,” kata Edward.
“Memang ada satu sisi mau enggak mau harus menaikkan tarif,” katanya. “Kedua pihak baik penyelenggara maupun driver pasti akan berkurang pendapatannya.”
Bisnis Ojek Online Dinilai Gagal
Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat Djoko Setijowarno menilai, bisnis taksi dan ojek online lantaran pengemudi sering berunjuk rasa.
“Pengemudi ojek online sebagai mitra tidak akan merasakan peningkatan pendapatan, karena tergerus oleh potongan-potongan fasilitas aplikasi yang sangat besar,” kata dia dalam keterangan pers, Minggu (9/10).
Menurutnya, bisnis taksi dan ojek online gagal yang terlihat dari pendapatan pengemudi yang turun. Hasil survei Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemenhub menunjukkan, 50,1% responden mendapatkan penghasilan Rp 50 ribu – Rp 100 ribu per hari. Sedangkan 44,1% mengeluarkan biaya operasional Rp 50 ribu – Rp 100 ribu.
Itu artinya, penghasilan yang mereka dapat hanya cukup untuk membayar bahan bakar hingga makan dan minum selama di lapangan. “Pendapatan per hari pengemudi hampir sama dengan biaya operasionalnya,” kata Djoko.
Jika dihitung secara bulanan, 34,5% pengemudi ojek online hanya mendapatkan Rp 1 juta – Rp 2 juta. Lalu 26,9% hanya Rp 3 juta – Rp 4 juta per bulan.
Rincian pendapatan pengemudi ojek online per bulan tahun ini sebagai berikut:
Pendapatan pengemudi ojek online per bulan tersebut melorot dibandingkan 2014. Datanya sebagai berikut:
Survei tersebut dilakukan selama 13 – 20 September secara online atau setelah pemerintah menaikkan harga BBM atau bahan bakar minyak bersubsidi jenis pertalite dan solar.
Pengemudi ojek online yang disurvei berdomisili di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Sebanyak 81% dari mereka merupakan laki-laki. Selain itu, 40,63% berusia 20 – 30 tahun.
“Pendapatan ojek online rata-rata sebatas kurang dari Rp 3,5 juta per bulan. Hal ini tidak sesuai dengan janji aplikator pada 2016 yang mencapai Rp 8 juta per bulan,” kata dia.
“Sulit rasanya menjadikan profesi pengemudi ojol menjadi sandaran hidup. Pasalnya, aplikator tidak membatasi jumlah pengemudi, menyebabkan ketidakseimbangan supply dan demand,” tambah dia.