Warga Merauke Keluhkan Food Estate, Ini Respons Tiga Tim Capres
"Anak-anak muda, coba dong, petani itu menguntungkan lho kalau kalian lakukan dengan benar. Ada smart farming(pertanian pintar), ada mekanisasi alat pertanian, dan sebagainya," ujar dia.
Satya menuturkan selain itu pertanian harus dikelola sebagaimana bisnis perusahaan. Caranya dengan membentuk kesatuan dalam satu organisasi sehingga mereka bisa sepakat dengan pabrik pupuk, alat dan mesin pertanian, dan juga mendapatkan pendampingan.
Menurut Satya, hal itu akan membuat para petani bisa maju bersama. Intensifikasi pertanian pun bisa dilakukan dan anak-anak muda juga merasa bangga sebagai petani.
Sanggah Rusak Lingkungan
Sementara itu, untuk tim dari paslon nomor urut 2 tidak langsung menanggapi gagalnya food estate. Hal ini dikarenakan Dewan Pakar TKN Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming, Drajad Wibowo, meninggalkan acara sebelum sesi tanya jawab dimulai.
Namun sebelumnya, Drajad pernah mengemukakan pendapat tim Prabowo-Gibran mengenai food estate. Dia mengakui saat ini banyak yang mengkritisi food estate karena menganggap merupakan proyek Kementerian Pertahanan (Kemenhan).
"Banyak yang kritis karena menganggap dananya dari Kemenhan, dan semuanya Kemenhan," kata Drajad saat mengunjungi Kantor Katadata.co.id di Jakarta, Rabu (17/1).
Padahal, dia mengatakan, dana food estate saat ini masih berasal dari Kementerian Pertanian serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Sementara dana dari Kemenhan tak bisa dikucurkan karena aturannya belum selesai.
"Aturannya sedang digodok, Kemenkopolhukan juga terlibat di situ," kata Drajad.
Dia mengatakan, aturan yang belum rampung tersebut menyebabkan penanaman di area food estate belum masif. Dia optimis penanaman akan lebih masif jika aturannya masih ada.
Drajad juga menyanggah jika program food estate merusak lingkungan. Dia mengatakan food estate tidak menggunakan tanah hutan maupun gambut sehingga tak berdampak pada deforestasi.
"Jadi dampak kerusakan lingkungannya diminimalkan. Yang jelas bukan hutan yang ditebang, dan kalau ada gambutnya gak mungkin di situ bisa tumbuh padi, " ujarnya.
Dia mengatakan, produksi food estate juga tidak bisa langsung masif karena tanah Kalimantan relatif kering. "Tanahnya gak sebagus di Jawa, jadi butuh biaya tertentu. Gak bisa diharapkan hanya setahun saja," ujarnya.
Hasil investigasi Pantau Gambut, Walhi Kalimantan Tengah, dan BBC Indonesia menemukan ada masalah di 3.964 hektare (ha), yakni lahan kehilangan tutupan pohon tanpa hasil pangan singkong, pada tahun lalu.
Selama Januari-Oktober 2022, tim tersebut menemukan ada 10 desa yang diindikasikan kehilangan tutupan pohon di Kabupaten Pulang Pisau, Kapuas, dan Gunung Mas. Desa Humbang Raya mencatatkan kehilangan terbesar hingga 459 ha, Pilang Munduk seluas 213 ha, dan Tumbang Jalemu 192 ha.