Krisis Iklim Pangkas Pendapatan Negara di Dunia, Siapa Paling Parah?

Rena Laila Wuri
18 April 2024, 11:00
Aktivis dari komunitas Fossil Free dan Climate Ranger melakukan unjuk rasa di Jakarta, Selasa (5/7/2022). Aksi tersebut sebagai bentuk untuk menyuarakan kepada salah satu perusahaan milik pemerintah untuk menghentikan pendanaan ke batu bara karena krisis
ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.
Aktivis dari komunitas Fossil Free dan Climate Ranger melakukan unjuk rasa di Jakarta, Selasa (5/7/2022). Aksi tersebut sebagai bentuk untuk menyuarakan kepada salah satu perusahaan milik pemerintah untuk menghentikan pendanaan ke batu bara karena krisis iklim berdampak multidimensi mulai dari lingkungan, ekonomi, sosial, sampai kesehatan.

Negara yang paling terdampak yang wilayahnya memiliki suhu panas tinggi seperti Botswana turun 25%,  Mali turun 25%,  Irak turun 30%, Qatar turun 31%, Pakistan turun 26% dan Brasil turun 21%.

Maximilian Kotz, salah satu penulis jurnal Nature, mengatakan, penurunan pendapatan yang kuat diproyeksikan untuk sebagian besar wilayah, termasuk Amerika Utara dan Eropa, dengan Asia selatan dan Afrika paling terpengaruh. 

Ia mengatakan, ini disebabkan oleh dampak perubahan iklim pada berbagai aspek yang relevan dengan pertumbuhan ekonomi seperti hasil pertanian, produktivitas tenaga kerja, atau infrastruktur.

Meskipun skenario yang baru diprediksi jauh lebih buruk daripada sebelumnya, Kotz mengakui itu masih konservatif dan tidak lengkap. 

Wenz, penulis lainnya  mengatakan ada banyak dampak iklim utama yang belum dimasukkan ke dalam analisis, termasuk gelombang panas, kenaikan permukaan laut, siklon tropis, titik kritis, dan kerusakan ekosistem alami dan kesehatan manusia. Ia mengatakan faktor-faktor ini akan ditambahkan ke model masa depan.

"Kami menyediakan gambaran yang lebih komprehensif tetapi ini bukan gambaran akhir. Kemungkinan itu adalah batas bawah," kata Wenz.

Para penulis mengatakan penelitian tersebut menunjukkan perlunya strategi adaptasi yang lebih kuat, terutama di negara-negara yang lebih miskin dan terkena dampak terburuk, untuk mengatasi perubahan hingga 2050 yang sudah terkunci dalam sistem iklim.

Itu juga menemukan bahwa mengurangi emisi jauh lebih murah daripada tidak melakukan apa-apa dan menerima dampak yang lebih parah. Pada tahun 2050, itu menghitung biaya mitigasi - misalnya, dari penghapusan fosil secara bertahap dan menggantinya dengan energi terbarukan. 

Dalam transisi energi tersebut dibutuhkan sebesar US$ 6 triliun (Rp 97 ribu triliun), yang kurang dari seperenam dari biaya kerusakan rata-rata untuk tahun itu sebesar US$38 triliun (Rp 614 ribu triliun).

Halaman:
Reporter: Rena Laila Wuri
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...