Membandingkan Swasembada Beras Era Jokowi dengan Soeharto

Intan Nirmala Sari
16 Agustus 2022, 19:52
beras, jokowi, swasembada, educate me, sejarah ekonomi
Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Petani dikawasan Marunda, Cilincing, Jakarta mulai sibuk memanen padi yang sudah mulai menguning (5/7). Rata-rata harga beras kualitas medium di penggilingan sebesar Rp 9.166 per kg atau naik sebesar 0,26 persen. Sedangkan rerata hara beras kualitas rendah di penggilingan sebesar Rp 9.012 per kg, angka tersebut mengalami kenaikan sebesar 0,65 persen.

Adapun beras yang masih diimpor Indonesia merupakan beras untuk keperluan industri. Tercatat Indonesia mengimpor beras khusus pada 2019 sebanyak 444,5 ribu ton, 2020 sebanyak 356,3 ribu ton, dan 2021 sebanyak 407,7 ribu ton.

“Namun sebanyak 82 % hingga 99 % impor berupa broken rice atau beras pecah untuk bahan baku industri. Presentasinya sangat-sangat kecil dibandingkan produksi beras dan stok beras kita," kata Kuntoro.

Dia juga menyebutkan broken rice yang berkode HS 10064090 tersebut sebagian besar digunakan untuk keperluan pakan ternak. Pada 2019, impor broken rice mencapai 98,6 % dari keseluruhan impor beras, 2020 capai 90,47 %, dan tahun 2021 sebanyak 81,63 %.

Sebelumnya, Indonesia sempat mencatat impor beras terbesar, yakni mencapai 981,99 ribu ton dengan nilai US$ 401 juta pada kuartal pertama 2016.

Swasembada Era Orde Baru

Penghargaan swasembada beras sempat menyambangi Indonesia pada era pemerintahan Orde Baru, di bawah kepemimpinan Presiden Indonesia kedua, Soeharto. Penghargaan swasembada beras pertama kali diterima Indonesia pada 1984.

Kala itu, produksi beras nasional tercatat mencapai 27 juta, dengan tingkat konsumsi masyarakat hanya 25 juta ton. Tak hanya mampu memenuhi kebutuhan konsumsi, Indonesia era Soeharto juga sempat menyumbangkan 100 ribu ton beras untuk Afrika.

PRODUKSI BERAS SUMATERA SELATAN
PRODUKSI BERAS SUMATERA SELATAN (ANTARA FOTO/Feny Selly/foc.)

Kesuksesan Indonesia mengantongi penghargaan swasembada beras tak lepas dari fokus Presiden Indonesia kedua itu dalam menguatkan sektor agribisnis. Pemerintah Orde Baru mengartikan stabilitas harga beras pada tingkat yang terjangkau (murah) menjadi indikator sempurna ketahanan pangan (Falcon and Timmer, 1991).

Di sisi lain, ketetapan FAO tahun 1999 menjelaskan bahwa, suatu negara dikatakan swasembada jika produksinya mencapai 90 % dari kebutuhan nasional. Mengutip makalah Pantjar Simatupang dan  I Wayan Rusastra bertajuk Kebijakan Pembangunan Agribisnis Padi (2004), disebutkan kalau penghargaan swasembada beras era Soeharto hanya bertahan lima tahun.

Di bawah kepemimpinan Soeharto, selama periode 1968-1998 kebijakan perberasan nasional diarahkan untuk mencapai tiga tujuan pokok yang saling berhubungan. Pertama, memantapkan ketahanan pangan nasional dan kedua, memacu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan stabilitas ekonomi (inflasi) nasional. Sedangkan tujuan terakhir, adalah meningkatkan pendapatan petani.

Komitmen Soeharto yang begitu besar direpresentasikan pada kebijakan produksi beras besar-besaran, salah satunya dalam pembangunan lahan dan irigasi. Investasi besar juga gencar pemerintahan Orde Baru lakukan sepanjang 1970 hingga 1980.

Namun, strategi tersebut lambat laun mulai mengalami perlambatan, sehingga berdampak pada laju produksi beras. Alhasil, pada 1990 pemerintah Soeharto kewalahan memenuhi konsumsi beras masyarakat yang bertumbuh menjadi 37 juta ton, dan memutuskan untuk mulai mengimpor beras. 

Halaman:
Reporter: Tia Dwitiani Komalasari, Andi M. Arief
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...