Menilik Sejarah Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah di Indonesia

Image title
20 Februari 2024, 14:40
Perimbangan Keuangan
Tangkapan Layar YouTube DJPK
Ilustrasi, Gedung Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK).
  • Redup di Era Orde Baru

Mengutip mediakeuangan.kemenkeu.go.id, semangat pelaksanaan otonomi daerah dan perimbangan keuangan redup kala Indonesia di bawah kendali Presiden Soeharto.

Pasalnya, melalui Ketetapan MPRS Nomor XXI/MPRS/1966, pemerintahan Orde Baru yang dibentuk Presiden Soeharto menegaskan, bahwa UU 18/1965 harus ditinjau kembali, karena dianggap memberi kekuasaan dan otonomi yang terlalu besar kepada daerah.

Aturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah di era Orde Baru terwujud dari dikeluarkannya UU Nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah. Namun, UU 5/1974 bukan perwujudan otonomi daerah dan perimbangan keuangan yang sejati.

Sebab, UU ini mengedepankan mantra khas Orde Baru, yakni persatuan dan stabilitas politik, demi mencapai “otonomi daerah yang nyata, dinamis, dan bertanggung jawab”. Meski ada kata-kata "otonomi daerah", namun kendali Presiden Soeharto yang otoriter, membuat UU ini tidak berguna sama sekali.

Politik pembangunan Orde Baru yang mengabaikan ekonomi kerakyatan, makin menjauhkan Indonesia dari pemerataan ekonomi, terlebih di daerah-daerah di luar Pulau Jawa.

UU 5/1974 juga tidak dengan tegas memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah. Pemerintah pusat masih memegang kendali dana pembangunan sehingga pemerintah daerah tidak bisa mengaturnya sendiri.

Ini terjadi karena paradigma pembangunan Orde Baru menuntut sistem perencanaan yang terpusat. Hal ini, kemudian menyebabkan penyeragaman sistem organisasi pemerintah daerah dan manajemen proyek yang dikembangkan daerah.

Akibat dari penerapan pendekatan terpusat itu adalah semakin kuatnya ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat. Inilah yang menjadi akar dari hubungan pusat-daerah, yang bersifat patronase.

Sistem ekonomi sentralistik ini berlangsung sepanjang Orde Baru dan berakibat lebarnya ketimpangan antara pusat dan daerah, hingga akhirnya Presiden Soeharto lengser dari kekuasaan.

  • Konsep Perimbangan Keuangan Kembali Hidup Pasca-Reformasi

Perihal desentralisasi, mulai kembali mendapat perhatian dari pemerintah. Ini ditandai dengan keluarnya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini menyerahkan kewenangan seluruh bidang pemerintahan, kecuali politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain, kepada daerah.

Hal ini melahirkan desentralisasi yang luas dan bertanggung jawab. Sementara, sumber-sumber pelaksanaan desentralisasi, berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah.

UU 22/1999 kemudian diikuti oleh UU Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan. Tujuannya adalah, untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah. Sebab, secara umum, tujuan utama otonomi daerah adalah, memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola keuangannya secara mandiri sesuai kebutuhan masing-masing daerah.

Upaya melaksanakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan tidak berhenti sampai keluarnya UU 25/1999. Pemerintah kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 165 tahun 2000, yang intinya menugaskan Kemenkeu untuk menyelenggarakan fungsi pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Berdasarkan aturan ini, terbentuklah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (DJPKPD) melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor KMK-02/KMK.1/2001.

Mengutip buku "Organisasi Kementerian Keuangan dari Masa ke Masa", DJPKPD diberi tugas untuk merumuskan, dan melaksanakan kebijakan serta melakukan standardisasi teknis di bidang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.

Susunan awal DJPKPD terdiri dari Sekretariat Direktorat Jenderal, Direktorat Pendapatan Daerah, Direktorat Dana Perimbangan, Direktorat Pembiayaan dan Pinjaman Daerah, serta Direktorat Evaluasi Pembiayaan dan Informasi Keuangan Daerah.

Kemudian, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 dan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002, merekomendasikan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), agar melakukan perubahan yang bersifat mendasar dan menyeluruh terhadap UU 22/1999 dan UU 25/1999.

Dari rekomendasi ini, muncul UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini, memberikan kewenangan kepada daerah untuk menyelenggarakan seluruh fungsi pemerintahan, kecuali kewenangan pemerintah di bidang pertahanan, keamanan, politik luar negeri, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama.

Sementara, di bidang perimbangan keuangan, dikeluarkan UU 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sebagai penyempurnaan UU 25/1999.

Kemudian di sektor keuangan, desentralisasi makin terwujud melalui paket UU, yaitu UU 17 nomor 2003 tentang Keuangan Negara, UU nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

UU 33/2004 menyatakan bahwa, dengan adanya desentralisasi fiskal, pemerintah daerah berhak mengatur susunan pendapatan dan pengeluaran yang dibutuhkan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam bentuk APBD.

Agar pemerintah daerah dapat memberikan pelayanan publik secara lebih efektif dan efisien, harus didukung oleh sumber-sumber keuangan yang mencukupi, baik dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, pinjaman, maupun bantuan dari pemerintah pusat atau daerah Lainnya.

Untuk membantu daerah, pemerintah pusat juga memberikan dana perimbangan, yang berbentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH).

Pemberian dana perimbangan diharapkan dapat menumbuhkan perekonomian daerah, dan mewujudkan otonomi daerah. Secara bertahap, pemerintah daerah diharapkan dapat mandiri dan menutup pengeluarannya dari PAD.

Pada saat yang sama, DJPKPD mengalami perombakan. Melalui Keppres Nomor 36 tahun 2004, tugas dan fungsi DJPKPD digabungkan dengan dua unit eselon I lainnya bersama Badan Analisa Fiskal menjadi Badan Pengkajian Ekonomi Keuangan dan Kerjasama Internasional (BAPPEKI). Sementara, bersama Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), menjadi Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan (DJAPK).

DJAPK menjalankan fungsi penyusunan anggaran yang sebelumnya tersebar pada beberapa lembaga, yakni Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), DJPKPD, Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan (DJLK) dan Badan Analisis Fiskal (BAF). Hal ini dilakukan karena tuntutan pemisahan antara fungsi penyusunan anggaran dan fungsi pelaksanaan anggaran agar tercipta check and balance.

Reorganisasi kembali terjadi pada 2007. DJAPK dipecah menjadi Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK). Hal ini dilakukan karena tugas dan fungsi DJAPK dinilai sangat kompleks. Fungsi-fungsi yang sebelumnya digabung dengan BAPPEKI dikembalikan.

DJA bertugas menyiapkan kerangka ekonomi makro, menyusun nota keuangan dan APBN/APBN-P, merumuskan dan melaksanakan kebijakan penganggaran kementerian/lembaga serta merumuskan kebijakan dan pelaksanaan penerimaan negara bukan pajak. Sementara DJPK bertugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang perimbangan keuangan.

DJPK memiliki peran strategis dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 217/PMK.01/2018, DJPK menyempurnakan bentuk organisasi mengingat tanggung jawab dan tantangan semakin besar dan beragam serta dalam rangka mewujudkan organisasi yang lebih dinamis dan mampu menjawab kebutuhan para pemangku kepentingan.

Kelahiran UU HKPD sebagai Wujud Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah

Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terus mengalami pembaruan, dengan disahkannya UU HKPD. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, beleid ini bukan merupakan resentralisasi. Melainkan, mengembalikan kesehatan APBN, dimana APBD merupakan bagian yang sangat penting dalam APBN. Menurutnya, UU ini didesain untuk memperkuat dan menjawab berbagai tantangan dari pelaksanaan desentralisasi fiskal.

Ia menjelaskan, selama 20 tahun terakhir, desentralisasi fiskal telah menunjukkan berbagai kinerja positif. Namun, masih terdapat tantangan yang harus dihadapi dalam pelaksanaannya, seperti pemanfaatan transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) yang belum optimal dan struktur belanja daerah yang belum memuaskan.

Pengaturan dalam UU HKPD, akan memberikan kemampuan kepada pemerintah daerah agar berkinerja lebih optimal dalam memberikan layanan publik. Secara sinergis pemerintah daerah diharapkan akan memiliki derap langkah yang seirama dengan pemerintah pusat dalam mencapai tujuan bernegara.

Ada beberapa poin penting dalam UU HKPD. Pertama, pengaturan Dana Bagi Hasil (DBH) pada UU HKPD ditujukan untuk mengatasi ketimpangan vertikal antara pusat dan daerah, yang meliputi berbagai aspek yang komprehensif.

Pengalokasian DBH, tidak hanya dilihat dari besaran pembagian, namun juga aspek keadilan atas siapa yang berhak menerima, tingkat kepastian penerimaan daerah, dan aspek kinerja.

Selain itu, Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai komponen terbesar TKDD, ternyata selama ini masih belum bisa dikelola secara optimal di sebagian daerah. Hal ini terlihat dari hasil-hasilnya, di mana ketimpangan antar daerah masih sangat lebar.

Indikator Angka Partisipasi Murni (APM) untuk level SMP/SMA masih memiliki deviasi capaian yang sangat tinggi, tertinggi 90,38% dan terendah hanya mencapai 13,34%. Ketimpangan serupa juga terjadi pada penyediaan air minum layak, sanitasi, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Oleh karena itu, di dalam UU HKPD akan mengaitkan kebebasan penggunaan DAU dengan kinerja daerah dalam mengelola keuangannya.

Sejalan dengan hal tersebut, serta sesuai dengan usulan berbagai pihak mengenai dukungan pendanaan kelurahan, Menkeu mengatakan, UU HKPD juga telah mengamanatkan adanya earmarking DAU/DBH untuk pendanaan pembangunan sarana dan prasarana serta pemberdayaan masyarakat di kelurahan.

Selanjutnya, pemerintah dan DPR telah sepakat bahwa pengalokasian DAU tidak bersifat One Size Fits All. Artinya, pengalokasian DAU ke depan tidak menyamaratakan kondisi di seluruh daerah, tanpa memperhatikan adanya perbedaan karakteristik antar-daerah.

Hal ini dilakukan melalui penerapan klasterisasi serta menggunakan formula alokasi yang lebih menggambarkan kebutuhan fiskal daerah dalam menyediakan layanan publik, dengan tetap mempertimbangkan karakteristik wilayah tertentu.

Pemerintah dan DPR juga telah sepakat bahwa dukungan melalui DAK akan diperkuat dengan mengalihkan secara bertahap berbagai belanja Kementerian/Lembaga yang masih mendanai urusan kewenangan Daerah, dengan terlebih dahulu memperhatikan kualitas kinerja pengelolaan APBD sebagai tolok ukur kesiapan Daerah.

DAK juga tidak lagi hanya diperuntukkan bagi kegiatan-kegiatan pembangunan fisik, namun diperluas untuk mendanai operasional pelayanan publik seperti Bantuan Operasional Sekolah (Dana BOS). Skema DAK kedepan juga akan mengintegrasikan hibah daerah ke dalamnya untuk semakin memberikan warna kinerja dari dana yang bersifat specific grant ini.

Demikianlah ulasan mengenai sejarah penerapan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah di Indonesia. Diketahui, konsep ini telah diterapkan sejak era kolonial Hindia Belanda, dan sempat redup ketika pemerintah Orde Baru, sebelum kemudian dihidupkan kembali pasca reformasi.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...