Sinyal Meredupnya Peluang Pengawasan Bank Kembali ke BI saat Pandemi

Agatha Olivia Victoria
28 September 2020, 19:49
reformasi sistem keuangan, pengawasan OJK-bI, pengawasan perbankan, OJK, LPS, Sri Mulyani, Krisis keuangan, BI
123RF.com/Sembodo Tioss Halala
Ilustrasi. Penguatan sistem pengawasan pada perbankan menjadi salah satu tujuan penerbitan Perppu terkait reformasi sistem keuangan mendesak untuk dilakukan.
NILAI TUKAR RUPIAH MENGUAT
NILAI TUKAR RUPIAH MENGUAT (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/wsj.)

Khawatir jadi Sentimen Negatif

Wakil Ketua Komisi XI DPR Erico Sotarduga berharap BI telah menyiapkan kajian jika seandainya Perppu keluar dan pengawasan perbankan kembali ke bank sentral. Namun, ia menilai pengembalian kewenangan pengawasan bank dari OJK ke BI dapat memberikan sentimen kepada kepercayaan pasar, nilai tukar rupiah, hingga inflasi.

"Karena pengawasan bank dipisahkan saja belum lebih baik apalagi dikembalikan," kata Erico.

Sementara itu, Ketua Komisi XI DPR Dito Ganinduto menegaskan tak akan ada perubahan signifikan mengenai penataan kelembagaan BI maupun OJK. Perubahan yang terlalu drastis dapat menganggu perekonomian lantaran kondisi stabilitas sistem keuangan di Indonesia juga bergantung pada sentimen. "Jadi tidak akan ada perubahan signifikan supaya tidak ada sentimen negatif," ujar Dito.

Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya menekankan pengawasan moneter dan perbankan dalam satu atap memiliki kelebihan dan kekurangan dan akan dikaji secara teliti bersama rencana reformasi sistem keuangan.  Indonesia sendiri sudah mengalami sistem otoritas moneter dan perbankan dalam satu atap beberapa tahun lalu dan terpisah seperti saat ini. 

"Masing-masing sistem tersebut  punya kelebihan dan kekurangan. Ini perlu dikaji secara lebih hati-hati dalam rangka tujuannya adalah memperkuat sistem pengawasan perbankan," ujar Sri Mulyani beberapa waktu lalu.

Sri Mulyani menjelaskan reformasi sistem keuangan diperlukan untuk memperbaiki mekamisme kerja sama antara pemerintah, BI, LPS, dan OJK. Perbaikan tetap diperlukan meski koordinasi kebijakan oleh lembaga anggota KSSK sejauh ini dianggap berhasil. 

Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perbanas Avialiani menilai pemerintah memang perlu mengeluarkan Perppu untuk mereformasi sistem keuangan terkait tiga kondisi. Pertama, untuk mempertegas perluasan kewenangan LPS. Pemerintah sebenarnya sudah memperluas kewenangan LPS melalui PP Nomor 33 Tahun 2020.

Dalam PP tersebut, LPS dapat menyelamatkan bank sebelum ditetapkan sebagai bank gagal oleh OJK. Lembaga tersebut antara lain dapat mulai menawarkan bank bermasalah kepada investor hingga menempatkan dana pada bank tersebut.  "PP ini kan di bawah undang-undang, jadi tidak cukup kuat, sehingga perlu Perppu," ujar Aviliani.

Kewenangan LPS untuk menangani bank sebelum benar-benar diteetapkan gagal diperlukan dalam kondisi saat ini. Bank yang masih berada dalam pengawasan intensif berpeluang lebih besar untuk sehat kembali. Selain itu, biaya yang harus dikelurkan untuk menyelamatkan bank tersebut jauh lebih rendah. "Ketika bank sudah ditetapkan gagal, ada ongkos jika terjadi rush dan kebutuhan penyelamatan LPS juga lebih besar," katanya.

Kondisi kedua, menurut Aviliani, adalah terkait kedudukan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Dalam UU PPKSK, menteri keuangan hanya berfungsi sebagai koordinator sehingga menyulitkan proses pengambilan keputusan. Keputusan saat ini hanya diambil oleh presiden. "Kewenangan KKSK harus diperbaiki diperpu, Menkeu dapat menjadi ketua sehingga bukan hanya koordinasi tapi ada pengambilan keputusan. Jadi semua anggota tetap voting tapi nanti Menkeu memutuskan," ujarnya.

Kondisi ketiga, peran BI dapat ditingkatkan tidak hanya menjaga inflasi tetapi juga mendorong perekonomian. Namun, independensi bank sentral tetap harus dipertahankan. Di sisi lain, Avilani menilai tak ada urgensi untuk mengembalikan kewenangan pengawasan bank dari OJK ke BI. Jika pun ada kasus di lembaga keuangan, menurut dia, OJK saat ini sudah berupaya membuka permasalahan sehingga dapat diselesaikan. "Kita saat ini masih tergantung dengan asing, jangan sampai ini malah membuat spekulasi, sehingga menganggu pasar keuangan," katanya.

Berbeda dengan Aviliani, Dosen DEB dan MM-UGM Anggito Abimanyu menilai penting untuk menggabungkan kebijakan makroprudensial dan mikroprudensial di Indonesia karena pengaturan keduanya sangat berkaitan. "Dalam hal itu pengaturan perbankan tidak sepenuhnya dapat dilakukan secara independen oleh OJK karena makroprudensial dan mikroprudensial berkaitan," tulis Anggito dalam bahan paparannya kepada Badan Legislasi DPR.  

Jika nantinya pengaturan mikropurdensial dikembalikan, bank sentral akan lebih mampu meningkatkan peran untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Ia juga menilai independensi BI dalam menetapkan kebijakan moneter dan pilihan kebijakan pengaturan sektor jasa keuangan perlu dipertahankan, tetapi harus disinkronkan dengan tujuan pembangunan ekonomi dalam jangka pendek dan jangka panjang.

Halaman:
Reporter: Agatha Olivia Victoria
Editor: Agustiyanti
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...