Anjloknya Rupiah Dinilai Bukan Sinyal Krisis, tapi Kondisi Normal Baru

Dini Hariyanti
10 September 2018, 20:31
No image
Petugas penukaran mata uang merapihkan uang yang hendak ditukar dengan mata uang asing di salah satu tempat penukaran uang di Jakarta.

Kondisi tersebut mengakibatkan modal tergerus dan harus dibenahi melalui kebijakan rekapitalisasi perbankan yang tidak murah. Tapi keadaan saat ini dinyatakan berbeda.

Sejumlah alasan yang mendasari, semisal kinerja perbankan terpantau baik melihat rasio kecukupan modal yang melebihi standar internasional, yakni 22,01% per Juni 2018. Negara juga memiliki manajemen utang yang lebih transparan dan cermat, defisit maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Selain itu, Indonesia kini menganut sistem nilai tukar fleksibel (flexible exchange rate) sehingga pergerakan kurs Garuda menyesuaikan diri terhadap dinamika pasar. "Sistem ini membuat dunia usaha lebih sadar akan risiko nilai tukar valuta bila berutang," kata Budi.

(Baca juga: Sri Mulyani: APBN Tetap Sehat Meskipun Rupiah Semakin Loyo)

Mengacu kepada kurs tengah Bank Indonesia, rupiah diperdagangkan di level Rp 14.835 per dolar AS pada Senin (10/9). Sementara di pasar spot, Garuda berada di posisi Rp 14.884 per dolar AS bahkan sempat menyentuh 14.935.

Nilai tukar rupiah sepanjang 2018 tampak diserbu fenomena normal baru. Akibatnya, imbuh Budi, pemulihan mata uang Garuda tidak hanya bergantung kepada kecakapan pemerintah menempuh solusi jangka pendek maupun panjang, tetapi juga kepada perbaikan kondisi eksternal.

Argumen senada datang dari Denni Puspa Purbasari selaku Deputi III Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Ekonomi Strategis Kantor Staf Presiden RI. Dia mengutarakan, setidaknya terdapat tiga alasan depresiasi rupiah saat ini berbeda dengan krisis 1998.

"Pelemahan tidak drastis, cadangan devisa lebih besar, dan kepercayaan investor masih kuat," tulisnya melalui keterangan resmi yang diterima Katadata.co.id. (Baca juga: Risiko Investasi Indonesia Meninggi akibat Defisit Transaksi Berjalan)

Pada 20 tahun lalu, kurs rupiah terjun bebas diikuti fluktuasi yang tinggi sehingga hitungan bisnis kacau dan masyarakat panik. Sekarang berbeda karena depresiasi mata uang Garuda tidak drastis dan volatilitasnya tak terlampau tinggi.

Cadangan devisa (cadev) juga dipastikan lebih besar dibandingkan pada 1998, kala itu hanya US$ 23,61 miliar tetapi per Agustus tahun ini di posisi US$ 117,9 miliar. Artinya, Bank Indonesia memiliki modal yang lebih banyak untuk meredam gejolak nilai tukar.

Aspek terakhir yakni kepercayaan investor tetap kuat. "Minat investasi asing terhadap surat utang negara merupakan salah satu indikator. Logikanya, tidak ada investor yang mau menempatkan uangnya di negara yang sedang sakit," kata Denni. (Baca juga: Dana Asing Keluar, BI Bisa Tambah Kepemilikan Surat Berharga)

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...