Pemerintah Siapkan Skenario Revisi APBN Tanpa Tax Amnesty

Yura Syahrul
29 Februari 2016, 12:10
Bambang Brodjonegoro
Arief Kamaludin|KATADATA
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara juga menilai asumsi makro dalam APBN 2016 yang agak meleset dengan kondisi saat ini adalah harga minyak. “Harga minyak yang rendah itu berdampak ke inflasi, seharusnya menjadi turun,” katanya.

Tiga opsi untuk APBN

Ekonom Faisal Basri menyoroti APBN 2016 yang masih terlalu optimistis dan seakan tidak belajar dari pengalaman tahun lalu. Pemerintah seharusnya mencermati perkembangan lingkungan strategis dalam menetapkan asumsi-asumsi APBN. Yang paling disorot adalah target penerimaan pajak tahun ini di tengah pertumbuhan ekonomi yang tertekan. Padahal, target pertumbuhan pajak 2015 sebesar 30 persen dibandingkan tahun sebelumnya, jauh meleset.

Pada APBN 2016, target penerimaan pajak sebesar Rp 1.368 triliun atau lebih tinggi 29 persen dari realisasi penerimaan pajak, termasuk pajak penghasilan (PPh) migas tahun lalu yang sebesar Rp 1.060,8 triliun. Padahal, Menteri Keuangan mengakui peningkatan pajak alamiah plus usaha ekstra hanya 13 persen. Peningkatan alamiah berasal dari asumsi APBN 2016 untuk pertumbuhan ekonomi 5,3 persen dan inflasi 4,7 persen serta usaha ekstra 3 persen.

(Baca: Perubahan APBN 2016 Menunggu Kepastian Tax Amnesty)

Menurut Faisal, penerimaan pajak tahun ini menghadapi tantangan berat karena sebagian potensinya sudah dieksploitasi untuk memenuhi target tahun lalu. “Praktik demikian lazim di masa Dirjen Pajak Hadi Purnomo, tetapi ditertibkan semasa Dirjen Pajak Darmin Nasution,” kata Faisal dalam tulisan di blognya. Padahal, dia menilai praktik “tsunami pajak” tidak sehat karena sangat mendistorsi penerencanaan perpajakan.

Faisal menyarankan tiga opsi untuk menyehatkan APBN 2016 di tengah ancaman anjloknya penerimaan pajak. Pertama, menaikkan defisit APBN dari 2,15 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) menjadi 2,5 persen PDB. Untuk itu, pemerintah harus menerbitkan lebih banyak surat utang. Masalahnya, dengan lingkungan global yang kurang kondusif dan pasar keuangan dunia yang sangat bergejolak, pemerintah harus menawarkan obligasi dengan bunga relatif tinggi.

Faisal menduga, pemerintah akan mendorong pasar domestik dengan membebankan kepada lembaga keuangan, asuransi, dan dana pensiun untuk membeli surat utang negara. Akibatnya, terjadi peralihan dari dana deposito ke SUN yang jumlahnya diperkirakan sekitar Rp 90 triliun. Padahal, penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 1 persen oleh Bank Indonesia hanya menambah likuiditas perbankan sekitar Rp 34 triliun. Akibatnya bisa memicu pengetatan likuiditas perbankan.

Kedua, mendorong badan usaha milik negara (BUMN) mencari dana dari pasar ketimpang bergantung pada penyertaan modal negara (PMN). BUMN yang memperoleh penerimaan dalam valuta asing masuk ke pasar modal global.

Ketiga, memotong belanja negara seperti proyek-proyek infrastruktur. Menurut Faisal, yang paling mungkin adalah meninjau kembali proyek jalan tol Sumatera. “Pilih saja ruas-ruas yang padat dan ditenderkan terbuka agar swasta maupun BUMN membiayai sepenuhnya proyek itu. Skema private-public partnership bisa digalakkan.”

Kalaupun perpaduan ketiga opsi itu masih kurang mampu menyehatkan anggaran negara, Faisal menyebut defisit masih bisa naik menjadi 2,4 persen sampai 2,5 persen dari PDB. Asalkan kualitas belanja terjaga dan target pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan berkualitas.

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati, Yura Syahrul
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...