BI Pertahankan Bunga Acuan 3,5% di Tengah Pelemahan Rupiah

Agatha Olivia Victoria
18 Maret 2021, 14:58
suku bunga bi, bi pertahankan bunga, stabilitas rupiah
ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mempertahankan bunga acuan di level 3,5%.

Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi terjadi di negara-negara yang mampu mengakselerasi vaksinasi Covid-19 serta menempuh stimulus fiskal dan moneter yang besar. Pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2021 diprakirakan akan lebih tinggi dari prakiraan sebelumnya sebesar 5,1%, terutama ditopang lebih tingginya pertumbuhan di Amerika Serikat, Tiongkok, Kawasan Eropa, dan India.  

Perkembangan sejumlah indikator pada Februari 2021 mengindikasikan perbaikan yang terus berlangsung, di tengah mobilitas masyarakat yang meningkat terbatas sejalan dengan masih berlakunya pembatasan di sejumlah wilayah.

"Kinerja ekspor terus meningkat, terutama komoditas manufaktur seperti besi baja, bijih logam, kimia organik, dan mesin listrik, seiring dengan kenaikan permintaan dari negara mitra dagang utama dan perbaikan ekonomi global," ujarnya.

Selain itu, ekspektasi konsumen, penjualan eceran, dan PMI manufaktur juga menunjukkan perbaikan. Akselerasi program vaksin nasional dan disiplin dalam penerapan protokol Covid-19 diharapkan dapat mendukung proses pemulihan ekonomi domestik. Selain itu, untuk mendorong permintaan domestik lebih lanjut, sinergi kebijakan ekonomi nasional terus diperkuat.

Ekonom LPEM FEB Universitas Indonesia Teuku Rifeky mengatakan bahwa BI perlu menahan suku bunga kebijakan di level 3,5%. "Hal itu sebagai langkah pencegahan untuk menstabilkan rupiah," kaat Teuku dalam hasil kajiannya yang diterima Katadata.co.id, Kamis (18/3).

Setelah melalui periode apresiasi sejak November tahun lalu, rupiah mulai terdepresiasi kembali menjadi Rp 14.400 per dolar AS pada minggu keempat Februari 2021 dari sekitar Rp 14 ribu per dolar AS pada minggu sebelumnya. Kondisi pelemahan Kurs Garuda terutama didorong oleh kondisi pasar AS yang tidak terduga.

Menurut Riefky, pasar cukup terkejut karena tingkat inflasi AS yang lebih baik dari perkiraan, mencerminkan prospek pemulihan yang optimis setelah pandemi Covid-19. Inflasi yang lebih tinggi ditambah dengan paket stimulus Presiden AS Joe Biden sebesar US$ 1,9 triliun telah menciptakan gejolak besar di pasar obligasi Negeri Paman Sam.

Terlepas dari tanda-tanda pemulihan ekonomi yang membaik dan lebih cepat di AS, kekhawatiran pasar akan lonjakan inflasi telah memicu aksi jual besar-besaran di pasar obligasi AS sejak Februari lalu. "Kondisi tersebut mendorong investor memindahkan asetnya dari obligasi ke aset lain yang tidak terlalu rentan terhadap inflasi dan biaya pinjaman utang," ujar dia.

Rata-rata imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun naik ke level sebelum pandemi di 1,6% pada pertengahan Maret 2021. Kenaikan itu mendorong dolar AS ke level yang lebih tinggi dan menahan minat investor pada pasar negara berkembang karena semakin menipisnya perbedaan imbal hasil. Alhasil, obligasi berdenominasi mata uang lokal di pasar negara berkembang mengalami volatilitas tertinggi pada minggu-minggu ini.

Maka dari itu, dirinya menilai bahwa stabilitas rupiah harus menjadi prioritas utama BI pada bulan ini dan beberapa bulan mendatang. Alasannya, rupiah menjadi salah satu mata uang yang paling terpukul selama terjadinya ketidakpastian pasar AS.

Adapun laju depresiasi rupiah yang tercatat sebesar 3,7% sejak awal tahun merupakan yang tertinggi di antara negara-negara berkembang lainnya di Asia. "Sehingga kebijakan moneter ekspansif apapun akan terlalu merugikan BI saat ini karena kinerja kondisi ekonomi domestik juga masih jauh dari pulih," katanya.

Halaman:
Reporter: Agatha Olivia Victoria
Editor: Agustiyanti
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...