Konsumsi Rumah Tangga Melambat di 2023, Ini Penyebabnya
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan tingkat konsumsi rumah tangga tumbuh pada kuartal IV 2023 cenderung melambat dan hanya tumbuh 4,47% secara tahunan (yoy). Sementara pada kuartal III 2023 tumbuh 5,05% yoy, dan kuartal IV 2022 naik sebesar 4,5% yoy.
Ketua Plt BPS, Amalia Adininggar mengatakan, perlambatan konsumsi rumah tangga berasal dari pengeluaran kelompok menengah atas yang turun. Hal ini tercermin dari indikator perlambatan pertumbuhan pajak pertambahan nilai atas barang mewah (PPnBM).
“Jumlah penumpang angkutan udara melambat, serta penjualan mobil penumpang yang tidak setinggi tahun lalu tak menyumbang sebanyak tahun lalu,” ujar Amalia dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (5/2).
Namun terdapat peningkatan dari sisi investasi finansial. Seperti simpanan berjangka yang mengalami penguatan. Dengan begitu, ada pergeseran pola konsumsi ke investasi.
Normalisasi Harga Komoditas
Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky mengatakan, perlambatan konsumsi rumah tangga pada 2023 disebabkan oleh beberapa hal.
Salah satunya, normalisasi harga komoditas setelah terjadi lonjakan harga atau commodity boom pada tahun 2022 yang meningkatkan pendapatan dan belanja masyarakat. “Normalisasi harga komoditas tentu ini menjadi penurunan atau perlambatan di tahun 2023,” ujar Riefky kepada Katadata.co.id, Selasa (6/2).
Selain itu, kondisi domestik dan global yang masih banyak ketidakpastian dan juga perlambatan permintaan global pun mendorong turunnya performa ekspor. Menurunnya ekspor akan berdampak pada penurunan pendapatan di domestik, sehingga daya beli masyarakat melambat.
“Kemudian adanya ketidakpastian dari sisi pemilu ini juga mendorong masyarakat menahan konsumsi,” ujarnya.
Kenaikan Suku Bunga dan Perluasan Pajak
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet menyebut beberapa faktor yang menahan pertumbuhan konsumsi swasta antara lain pelemahan harga komoditas global.
Kemudian kenaikan suku bunga akibat kebijakan moneter yang mengetat, rencana perluasan basis pajak, dan pertumbuhan upah riil yang lebih rendah dibandingkan inflasi. Pelemahan harga komoditas tahun ini berpotensi melemahkan pertumbuhan konsumsi swasta pada 2024.
Per tahun ini saja, pertumbuhan upah riil sektor pertambangan sudah terkontraksi 2% dibandingkan tahun sebelumnya. Sektor pertambangan sendiri menyerap 1,2% dari 52,69 juta pekerja dengan status buruh/karyawan/pegawai.
Meski persentase pekerja sektor pertambangan relatif sedikit, penurunan upah pada sektor ini perlu diperhatikan, mengingat posisinya sebagai tiga besar sektor dengan gaji tertinggi di Indonesia.
Selaras dengan hal tersebut, sektor jasa keuangan, asuransi dan sektor informasi dan komunikasi juga mengalami penurunan rata-rata upah riil masing-masing sebesar 4% dan 8%
“Berkontraksinya pertumbuhan upah ketiga sektor ini perlu diwaspadai mengingat kelompok menengah atas adalah penggerak utama konsumsi swasta, dimana 60% penduduk berpengeluaran sedang dan tinggi berkontribusi terhadap 81,94% konsumsi masyarakat,” ujarnya.
Tren Konsumsi Rumah Tangga 2024
Teuku memperkirakan, tren konsumsi rumah tangga akan meningkat pada tahun 2024. Pertumbuhan konsumsi didorong oleh Pemilu dan aktivitas-aktivitas lainnya seperti kampanye.
“Banyak aktivitas yang dilakukan yang mampu mendorong perputaran uang, yang diharapkan konsumsi akan lebih tinggi lagi, ditambah ini pemilu pertama dilakukan serentak di level nasional dan kabupaten serta kota dampak multiplier akan cukup besar untuk peningkatan,” ujarnya.
Sementara Yusuf memperkirakan, konsumsi rumah tangga akan relatif stabil namun cenderung melemah secara marginal. Efek pendapatan rumah tangga dari kenaikan harga komoditas pada 2022 dan awal tahun 2023 diperkirakan akan hilang pada tahun depan.
“Konsumsi barang-barang tahan lama yang mengandalkan kredit, seperti kendaraan dan properti, juga akan sedikit tertekan oleh dampak pengetatan moneter Bank Indonesia (BI) pada kuartal terakhir tahun ini,” ujarnya.
Selain itu, dampak insentif fiskal pemerintah dan peningkatan anggaran bantuan sosial akan sedikit menyumbang pertumbuhan konsumsi.
Sementara itu, Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda menilai bantuan sosial (bansos) dapat menjaga daya beli masyarakat, khususnya masyarakat kelas menengah ke bawah.
“Mereka sangat terhimpit dengan kenaikan harga barang secara umum, namun pendapatan tidak meningkat. Bansos menjadi penyelamat bagi mereka,” ujarnya.