Pemerintahan Baru Diminta untuk Kelola Defisit Fiskal dan Utang RI
Ekonom Bank DBS Radhika Rao meminta Presiden dan Wakil Presiden RI yang terpilih dalam pemilihan umum 2024, untuk menyeimbangkan rencana belanja dengan pembatasan defisit fiskal untuk mendukung keberlanjutan pertumbuhan ekonomi dan mencegah lonjakan utang.
"Pemerintahan baru perlu menyeimbangkan rencana belanja ekspansif, dengan kebutuhan, untuk membatasi defisit fiskal di bawah ambang batas minus 3% produk domestik bruto (PDB) dan mencegah lonjakan tingkat utang publik dan biaya pinjaman," kata Radhika dikutip dari Antara, Kamis (18/4).
Radhika memperkirakan, pemerintahan baru akan menindaklanjuti kebijakan dan reformasi yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo, seperti upaya hilirisasi komoditas, pembatasan ekspor bijih lebih lanjut, dorongan infrastruktur, dan pemeliharaan pendekatan yang probisnis.
Selain itu, alokasi untuk program kesejahteraan sosial dan subsidi dapat ditingkatkan untuk mendukung daya beli rumah tangga.
Dengan berakhirnya Pemilu, ia memperkirakan akan bangkitnya komitmen investasi, yang juga dibantu oleh belanja sektor swasta, dorongan konsumsi, dan dorongan fiskal yang positif.
"Katalis domestik ini kemungkinan akan mengimbangi pelemahan di sektor perdagangan yang menyusutkan surplus barang pada bulan Januari-Februari sebesar hampir 70% yoy," ujarnya.
Seperti diketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengukuhkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden RI terpilih dengan memenangkan 58,6% suara pada Pemilu Februari 2024.
RI Akan Hadapi Twin Deficit
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan Indonesia berisiko menghadapi kondisi "twin deficit" seiring dengan menurunnya surplus neraca perdagangan.
Adapun yang dimaksud dengan 'twin deficit' adalah kondisi di mana ekonomi mencatatkan pelebaran defisit neraca transaksi berjalan dan defisit fiskal.
"Indonesia juga harus dihadapkan dengan risiko kembalinya 'twin deficit' atau kondisi di mana ekonomi mencatatkan pelebaran defisit neraca transaksi berjalan dan defisit fiskal," kata Josua.
Data terakhir menunjukkan bahwa surplus neraca perdagangan Indonesia terus menyusut, sejalan dengan berlanjutnya normalisasi harga komoditas dan kondisi ekonomi Cina, mitra dagang utama Indonesia, yang cenderung terus melemah.
"Hal ini meningkatkan risiko pelebaran defisit pada neraca transaksi berjalan pada tahun ini," ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan barang Indonesia kembali mencatatkan surplus pada Februari 2024 sebesar US$ 0,87 miliar, yang ditopang oleh non migas sebesar US$ 2,63 miliar.
Namun, nilai surplus itu turun US$ 1,13 miliar secara bulanan jika dibandingkan dengan Januari 2024 yang tercatat sebesar US$ 2,02 miliar. Di sisi lain, Josua menuturkan penerimaan negara cenderung menurun sejalan dengan normalisasi harga komoditas.