Diprotes Pekerja dan Pengusaha, DPR Agendakan Rapat Khusus Soal Tapera
Kebijakan pemerintah untuk mengatasi kesenjangan kebutuhan rumah (backlog) melalui program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menuai reaksi keras dari para pekerja hingga pengusaha. Salah satunya disebabkan oleh kewajiban iuran Tapera bagi pekerja yang dinilai memberatkan.
Kewajiban itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Ketua Komisi V DPR Lasarus dalam Rapat Kerja dengan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono di gedung DPR, Jakarta, pada Kamis (6/6), menegaskan bahwa pihaknya akan segera menggelar rapat khusus untuk membahas program Tapera.
“Soal Tapera ini sudah menjadi ramai. Penjelasan Bapak pun tidak menyelesaikan persoalan sekarang, kami akan agenda khusus terkait Tapera supaya nanti tuntas. Karena memang kami banyak sekali mendapat pertanyaan," kata Lasarus dalam keterangan resmi, Jumat (7/6).
Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini juga meminta pemerintah untuk terlebih dulu menunda kebijakan Tapera tersebut. Karena muncul keberatan terkait potongan iuran dari karyawan hingga pengusaha.
“Kami nanti akan mengundang dulu semua pihak, nanti kita undang dunia usaha mungkin perwakilan para buruh, baru nanti kita undang teman-teman dari Tapera,” ujarnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi V DPR RI Ridwan Bae mengusulkan agar Komisi V DPR menggelar rapat khusus membahas soal Tapera ini. “Nanti penjelasannya di rapat khusus, agak panjang persoalannya karena banyak masalah yang kita harus hadapi tentang ini Pak,” kata Politisi Fraksi Partai Golkar itu.
Pada saat yang sama, Basuki juga menjelaskan alasan kewajiban iuran Tapera karena masalah backlog kepemilikan rumah mencapai 9,9 juta, backlog untuk rumah tidak layak huni 2,6 juta. Sementara pertumbuhan rumah tangga baru 800.000 per tahun.
Dia menjelaskan bahwa pemerintah mendorong pembiayaan rumah susun bukan dari APBN, tapi melalui fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan dari 2010 sampai 2024 yang kini tercatat sudah mencapai lebih dari Rp 105 triliun.
"Nanti akan dijelaskan lebih detil terkait kredit lebih dari 300 triliun dalam pembangunan perumahan itu. Kemudian subsidi selisih bunga melalui tahun 2015 sampai 2020 dan bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan itu (BP2BT),” kata dia.
Kebutuhan Perumahan dan Kewajiban Tapera
Anggota Komisi V DPR RI Irene Yusiana Roba Putri mempertanyakan dua poin terkait kebijakan Tapera. Pertama, hitungan gap atau kebutuhan yang bisa dipenuhi oleh Tapera untuk perumahan ASN dan pekerja swasta.
Kedua, perihal apakah kebijakan Tapera juga berlaku wajib bagi pekerja swasta yang selama ini sedang menjalani cicilan KPR ataupun yang selama ini sudah mempunyai warisan rumah.
“Kalau pekerja swasta yang sudah mencicil KPR-nya selama ini atau yang sudah punya warisan selama ini sudah punya rumah nggak butuh lagi perumahan apakah masih diwajibkan?," kata Iren.
Dia juga merasa seringkali kebingungan atas beberapa penjelasan dari pemerintah yang mengatakan kebijakan Tapera merupakan subsidi dari masyarakat yang mampu untuk subsidi kepada yang tidak mampu.
“Subsidi itu kewajibannya negara bukan sesama warga negara memberi subsidi. Kalau sesama warga negara namanya gotong-royong. Alangkah malunya negara yang tidak mampu hadir untuk menjawab dari tantangan yang masyarakat hadapi," kata dia.
Daya Beli Masyarakat Bisa Merosot
Anggota Komisi IX DPR RI Alifudin juga menilai pemotongan pendapatan pekerja dapat berdampak pada kemerosotan daya beli dan kualitas hidup masyarakat secara substansial.
“Memang benar, kehadiran Tapera mampu menjadi jembatan untuk memastikan masyarakat memiliki akses kepemilikan rumah di masa yang akan datang. Namun, tidak semua masyarakat yang bekerja itu sejahtera," kata Alifudin.
Bagi pekerja mandiri sendiri, tidak selamanya gaji yang mereka terima akan memiliki tetapan yang sama. Mereka diwajibkan membayar simpanan, sedangkan kebutuhan harian mereka bisa saja tidak terpenuhi. Maka, tentu keputusan ini akan mencekik dan bertentangan dengan norma kesusilaan.
Walaupun program Tapera mampu memfasilitasi kepemilikan rumah, beleid ini disahkan tanpa melalui pertimbangan terkait kerentanan yang diterima pekerja mandiri.
Dengan beban persyaratan pembayaran minimum hingga risiko pencabutan status kepesertaan sesuai dengan Pasal 22 Ayat (1) dan (3), pekerja mandiri akan diikat oleh pikulan finansial dan administrasi yang eksesif.
“Sebaiknya hilangkan niat pemerintah dalam mengambil uang dari pekerja dengan alasan untuk tabungan perumahan, batalkan dan kembali fokus buat kebijakan yang menyejahterakan masyarakat,” ujarnya.