Insentif PPh Final UMKM 0,5% Berakhir di 2024, Ini Rincian Aturannya
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyampaikan bahwa insentif tarif pajak penghasilan (PPh) final bagi wajib pajak orang pribadi (WPOP) usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM) sebesar 0,5% akan berakhir pada 2024.
Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Suryo Utomo mengatakan, sosialisasi skema normal akan dilakukan.“Wajib pajak UMKM di tahun ke-7, harus naik kelas menjadi wajib pajak yang tidak lagi menggunakan PPh final,” kata Suryo dalam konferensi pers APBN KiTA Edisi Agustus 2024, Selasa (13/8).
Hal tersebut mengacu pada Peraturan Pemerintah 55 Nomor 2022 yang mengatur pelaksanaan UU Harnonisasi Peraturan Perpajakan. Namun pengenaan tarif PPh 0,5% terdapat pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018.
PP Nomor 23 Tahun 2018 merupakan aturan tentang PPh atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Untuk itu, dia akan memastikan penerapan skema normal bagi wajib pajak yang selama tujuh tahun telah menggunakan PPh final. “Kami akan tetap menjalankan sosialisasi dan edukasi sampai ke kantor kami terbawah dan juga kami lacak dari pusat,” ujar Suryo.
Berdasarkan PP Nomor 23 Tahun 2018 tentang PPh atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, pemerintah mengenakan tarif PPh sebesar 0,5% bagi UMKM dengan penghasilan tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam satu tahun pajak.
Insentif tersebut merupakan jawaban dari PP nomor 46 Tahun 2013 yang mengatur wajib pajak yang memeroleh penghasilan tidak lebih dari Rp 4,8 miliar dan harus membayar PPh final 1%.
Dengan berakhirnya insentif tersebut, maka pada tahun pajak 2025 dan seterusnya dapat menggunakan norma perhitungan sebelumnya. Sehingga, pelaku UMKM menggunakan tarif normal dan pembukuan jika omzet di atas Rp 4,8 miliar.
Menggunakan Penghitungan NPPN
Bagi wajib pajak UMKM yang tidak menggunakan tarif PPh Final 0,5% mulai tahun 2025, maka bisa memakai Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN). Berikut kriteria wajib pajak yang bisa menggunakan NPPN:
- Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp 4,8 miliar.
- Wajib membuat pencatatan
- Penghasilan yang diterima atau diperoleh tidak dikenai PPh Final
- Wajib memberitahukan mengenai penggunaan norma penghitungan kepada Dirjen Pajak paling lama tiga bulan sejak awal tahun pajak.
Pegawai Dirjen Pajak Arfinsha Finka Perdana mencontohkan penghitungan PPh bagi seorang aktor di Jakarta dengan status menikah dan mempunyai tiga orang anak pada 2025, serta menerima penghasilan bruto sebesar Rp 1 miliar.
"Persentase penghasilan neto untuk profesi aktor di kota Jakarta sesuai dengan norma KLU 90002 untuk 10 ibu kota provinsi yaitu 50%," tulis Arfinsha dalam artikel di situs Ditjen Pajak dikutip Senin (2/9).
Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) 90002 merupakan klasifikasi yang digunakan untuk pekerja seni sepertis aktor, penulis, kartunis hingga pematung. Kategori usaha ini sebagai dasar penghitungan kewajiban PPh.
Contoh Penghitungan PPh Melalui NPPN
Penghasilan neto sebagai aktor : Rp 1 miliar x 50% = Rp 500 juta
Jumlah penghasilan neto : Rp 500 juta
Dikurangi:
Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/3) : Rp 72 juta
Penghasilan Kena Pajak : Rp 428 juta
PPh yang terutang :
5% x Rp 60 juta = Rp 3 juta
15% x Rp 190 juta = Rp 28,5 juta
25% x Rp 178 juta = Rp 44,5 juta
Jumlah PPh terutang adalah Rp 76 juta